Senyum yang Membelah Keterbatasan

Daftar Isi

Dari kejauhan terlihat gadis itu sedang bercengkerama dengan sahabat karibnya. Senyum yang merekah dan menghiasi wajah, sudah sejak lama menjadi pengganggu dalam tidurku. Namanya Rahma, gadis cantik dengan paras yang paripurna mampu membuat siapa saja terpesona. Apalagi dia termasuk ramah terhadap siapa pun, termasuk aku, dan dia juga adalah temanku sejak dulu.


Namaku Arka, wajahku yang terbilang pas-pasan seolah langsung meng-ulti agar aku sadar ketika tekad ini membulat hendak menyatakan cinta yang sudah lama membara. Ditambah dengan ketimpangan sosial yang cukup jauh membuatku makin tidak punya nyali untuk sekedar berkata jika aku suka padanya. Sialnya, dia bersikap begitu akrab denganku. Menghindar pun, tidak mungkin.

Senyum yang Membelah Keterbatasan

"Hai, Ka!" sapanya dengan ramah dan senyum berkembang indah.


Ya, dia Rahma. Gadis yang sejak tadi kupandangi, kini sudah sampai di depanku.


"Kantin yuk! Hari ini aku dapat uang saku lebih dari ayah, soalnya kan kemarin aku juara olimpiade matematika," katanya bangga.


"Oh iya? Keren banget ya, kamu! Selamat yaa," ucapku yang juga bangga dengannya.

Namun, di sisi lain, hal itu makin membuatku insecure karena level kami jelas makin berbeda, mungkin jika dia ada di level 5, aku masih stay di level 2. Mengenaskan!


"Yuk, ah! Keburu laper nih!" ajak Jeni, sahabat Rahma yang sejak tadi bersamanya. 

Kami mengenal Jeni sejak masuk ke sekolah ini dan menjadi sahabat. 

Sesampai di kantin tadinya aku mau pesan Siomay saja, tetapi Rahma sudah memesankan bakso.


"Bu, baksonya tiga, minumnya es jeruk yah Bu," kata Rahma pada bu kantin.

"Ma, tadinya padahal aku mau pesan siomay saja," ucapku sungkan.

"Oh kamu mau siomay juga, ya udah nanti pesan, dibungkus saja," katanya lagi.


"Eh, bukan gitu." Aku malah jadi tidak enak karena dia begitu.

"Nggak apa-apa, santai aja. Mumpung aku ada duit kan." Rahma tersenyum. 

Kami bertiga ngobrol banyak di kantin, hingga bel berbunyi dan kami masuk ke kelas masing-masing.

*

Matahari terbenam di kejauhan, memancarkan cahaya kemerahan di langit. Pepohonan bergoyang lembut tertiup angin, dedaunan bergemerisik dan berjatuhan ke tanah.

Aku melihat sekeliling dalam keadaan kabur, pepohonan dan bunga-bunga yang berbaur menjadi satu dalam sebuah tatanan yang berantakan. Matahari menyaring melalui dedaunan, memberikan bayangan berbintik-bintik di tanah.

Udara terasa segar, penuh dengan aroma rumput dan bunga-bunga yang bermekaran. Namun di balik itu semua, ada sedikit rasa pengap, seakan beban pikiran membebani dunia di sekeliling.


Mulut terasa kering dan sedikit pahit, akibat kecemasan dan kebingungan yang berkecamuk di dalam diriku. Rasa logam di lidah karena menggigit bibir terlalu keras menambah campuran tersebut.


Suara anak-anak yang sedang bermain dan kicauan burung tenggelam oleh kekacauan dalam pikiran. Suara-suara, keraguan dan ketakutan, semuanya berteriak-teriak meminta perhatian, menciptakan hiruk-pikuk yang memekakkan telinga.


Bangku kayu yang aku duduki sudah kasar dan usang, catnya terkelupas. Tanpa sadar, aku mengusap-usap jemari di sepanjang lekukannya, merasakan setiap ketidaksempurnaannya.


Namun siapa sangka di tengah ketidaksempurnaan yang kurasa, malah datang manusia yang nyaris sempurna, Rahma Yah Rahma.


"Sendirian aja, Ka?" sapanya.

"Enggak, kan sama kamu," jawabku sambil tersenyum.

"Nih, aku bawain thai tea." Dia menyodorkan satu cup besar minuman teh yang dicampur susu itu.


Entah apa yang dia rasa sama atau tidak denganku, tetapi dia terlalu perhatian. Sayangnya kerap kali kudengar jika aku hanya dianggapnya sebagai teman yah teman yang selalu ada untuknya.


Hmm ... ternyata dia sadar kalau aku selalu ada untuknya, tapi apa dia sadar kalau aku suka padanya? Sepertinya tidak.


"Makasih, ya." Aku menerima minuman itu kemudian meminumnya lewat sedotan.

Dia langsung saja duduk di sebelahku dengan badan yang menempel. Aku menoleh, tetapi dia tetap memandang ke arah depan.


Kami saling diam dan pikiran melayang ke angan masing-masing. Aku memikirkan dia dalam angan, sedangkan dia entah memikirkan apa saat ini.


Cinta bertepuk sebelah tangan? 


Entahlah, mana bisa dibilang seperti itu, aku saja malu, meskipun hanya sekedar berkata aku suka padanya.


Malu karena aku tertinggal terlalu jauh darinya, aku hanya bisa membantu dia dalam hal tenaga dan perhatian, dalam hal yang lain, aku kalah telak.

Jika dia rangking 1 paralel di sekolah kami, mungkin aku urutan ke 101, atau bahkan lebih.

Entahlah.

"Ka, kamu tau nggak, si Jeni tadi siang ditembak sama adek kelas kita yang ketua OSIS cakep itu," adu Rahma tiba-tiba, setelah sekian lama kami saling diam dan hanya menikmati satu cup thai tea masing-masing.


"Terus?" tanyaku bingung.

"Terus apa?" Dia malah berbalik tanya.

"Ya kamu kenapa? 

Apa kamu suka juga sama dia terus nggak suka kalau Jeni jadian sama dia?" 

Dia menoleh, tatapan kami beradu. "Kok, kamu ketus? 

Kamu marah? Kan aku cuma cerita," cerocosnya.


"Enggak ... bukan gitu maksudnya. Kamu itu kenapa kok kaya nggak seneng, kalau kamu nggak seneng gitu kan aku ikutan kebawa emosi," kilahku mengalihkan fokus.


Sebenarnya aku tidak suka kalau dia menceritakan lelaki lain dengan antusias seperti itu, apalagi sampai memujinya. Aku cemburu, aku akui itu.

"Aku nggak suka, soalnya pasti Jeni bakal sering sama pacarnya dibanding sama aku," jawabnya ketus sambil menyedot thai tea dengan bibir mengerucut. Gemas!


"Oh, gitu ... kan masih ada aku, kenapa kamu sedih?" 

Aku mengelus rambutnya pelan, berharap dia sedikit tenang.


"Iya, tapi kan kamu cowok, ya kali aku tidur bareng kamu, aku kan biasanya tidur bareng Jeni." Dia makin terlihat kesal.


"Ya sekarang sih jangan, besok aja kalau kita udah nikah," celetukku ngasal.

"Hih, siapa juga yang mau nikah sama kamu, kamu tuh pasnya jadi abangku," balasnya yang kemudian memalingkan wajah.


"Hiih bercanda kali," elakku. Meskipun memang aku berharap bisa menikah dengannya suatu saat nanti.


Namun, jika ditolak seperti ini, rasanya aku harus mengubur hidup-hidup anganku ini.


"Sebenarnya aku tuh suka seseorang tau."

"Siapa?" Sahutku cepat.

"Ada pokoknya dia ganteng, tinggi, hitam manis, jambangnya tipis, jakunnya menggoda. Aaaa! Nggak sabar pengen cepet lulus," teriaknya sembari memasang wajah berbinar.

"Emang harus lulus dulu?" tanyaku penasaran.

"Iyalah, harus lulus dulu. Kalau nggak lulus dulu ya malu," jawabnya antusias sembari menutup wajahnya yang merona.

"Siapa sih?"

"Itu loh, Pak Albert guru bahasa Inggris," jawabnya masih tersipu.

"Oh, dia. Keren Ya! Kalau berhasil jangan lupa pajak jadian," jawabku mencoba antusias meskipun di hati terasa sangat teriris.


"Jelas, dong! 

Tapi nunggu moment yang pas untuk menyampaikannya susah."

Mungkin ini adalah cinta kami yang terhalang oleh rasa malu, di mana aku enggan mengungkapkan perasaanku padanya, begitu pula dengannya yang enggan mengakui rasa cintanya yang jelas bukan untukku.

Posting Komentar