Berpisah

"Jika kau ke sini untuk meminta aku memikirkan kembali ucapanku waktu itu, lebih baik kamu pulang karena prinsipku tidak akan bisa berubah."

3 min read

Semuanya sudah jelas. Aku dan Friska memang sudah tidak ada harapan untuk bersama. Bahkan beberapa waktu lalu ketika aku ke rumah Friska untuk mengantar gadis itu ketika pulang kuliah, aku langsung disergah oleh pernyataan yang membuatku tak bisa bertahan lagi.

berpisah


"Jika kau ke sini untuk meminta aku memikirkan kembali ucapanku waktu itu, lebih baik kamu pulang karena prinsipku tidak akan bisa berubah." Itulah yang dikatakan oleh kakeknya Friska yang langsung membuatku ingin menyerah dan pasrah.


Meski bagaimanapun, pria tua itu adalah orang tua Friska juga yang lebih berhak atasnya daripada aku.


"Tidak, Kek. Saya hanya mengantar Friska pulang," jawabku waktu itu. 


Sejak kejadian itu, aku dan Friska menjadi sangat jarang bertemu, hanya sesekali saja ketika kami tidak sengaja bertemu di kantin atau mungkin dia yang memang menungguku di sana.


Bagiku ini sangat menyesakkan, tetapi aku bisa apa? Jangankan restu Tuhan, restu orang tua pun tak mampu aku dapatkan.


Kini lagi-lagi aku berarti di sebuah danau yang selalu bisa menenangkanku dengan keheningan dan kesejukan airnya. Di langit sana sesekali kerlap-kerlip kembang api terlihat menyambut datangnya tahun baru. Ya meskipun sekarang baru pukul sembilan malam, tetapi sudah banyak yang menyalakan kembang api. Mungkin itu anak-anak kecil yang tak sabar menunggu pergantian tahun tiba. 


Ketika di sana mereka sedang berbahagia, aku di sini menikmati luka yang terus menganga tanpa ada yang mencoba mengobatinya. Mungkin dengan sebuah dekap, atau sebuah usapan di pipi yang menenangkan Seperti saat aku dan Friska masih bersama.


"Zu, bukankah langit itu semakin indah jika ditambah kembang api?" 


Tiba-tiba suara merdu itu terngiang di telingaku. Aku pikir, aku hampir sedikit gila karena terus saja mendengar suara mirip dengan suara Friska. Namun, panggilan ini membuatku sadar dan menoleh ke arah kanan. Ternyata gadis itu sudah berada di sini entah sejak kapan.


Setelah tahu Friska ada di sebelahku dan dia sedang memandang ke arah langit di atas sana, aku kembali meluruskan pandangan ke tempat sama dengan yang dia pandangi saat ini. Mungkin.


"Kenapa kamu ke sini?" tanyaku perlahan.


"Aku cuma rindu sama kamu, Zu. Nggak lebih," jawabnya juga dengan perlahan.


Kami bicara tanpa saling pandang, sebab ketika aku memandang wajahnya yang sedih itu malah membuatku semakin terluka karena tahu jika akulah penyebab luka itu.


"Sebenarnya aku juga rindu sama kamu. Aku juga pengen terus sama-sama kamu, tapi kayaknya itu nggak mungkin."


"Iya, Zu. Kayaknya aku juga udah nggak bisa berjuang lagi seolah-olah pintu yang aku harapkan satu-satunya sudah tertutup rapat tanpa bisa kita lewati bersama. Sedangkan orang tuaku sama sekali nggak bisa membantah Kakek." Suara itu lirih hingga sakitnya terasa sampai ulu hati.


Setelah bicara demikian, dia menyandarkan kepalanya di pundakku hingga wangi sampo yang mungkin baru dia kenakan sore tadi menusuk indra penciuman dan membuatku teringat lagi tentang kisah kami selama setahun ini yang begitu manis.


Tentang dia yang seringkali tertidur di pundakku ketika kami nonton film, juga tentang air mata haru yang sering dia limpahkan ke dadaku, lalu tawanya yang renyah mampu membuatku ikut tertawa juga.


"Itulah yang aku takutkan, bahkan sebelum aku datang lagi, kakekmu sudah menolakku. Aku bisa apa jika orang tua nggak merestui cinta kita. Mungkin kisah kita ini cuma sampai sini aja." Tanganku mulai menggamit tangannya yang sejak tadi berada di pahaku.


Friska pun menyambutnya dengan seolah-olah dia tidak ingin jauh dan tidak ingin lepas dariku. Namun, keinginan itu sudah pasti akan menjadi nyata dan akan berakhir jadi cerita yang indah pada masanya, dan menyakitkan pada akhirnya.

"Tapi aku harap kalau kita masih bisa berteman, Zu." 


Aku menyandarkan kepalaku ke kepalanya, sudah lama sejak terakhir kali kami seromantis ini. "Harapan yang sama, Friska."


"Apa kamu mau menghabiskan malam tahun baru denganku, Zu?" tanya Friska padaku. Kali ini dia menarik kepalanya.


Aku pun sama dan menoleh ke arahnya. Tatapan kami bersatu. Dalam dan lama. "Apa maksud dengan perkataanmu tadi?"

"Aku cuma pengen bareng kamu, sebelum nanti kita berdua yang awalnya saling hingga berakhir dengan kata asing." 


Kami masih bersitatap. "Meskipun aku emang nggak ingin kita asing, tapi suatu nanti kita pasti begitu, tapi aku harap kamu masih mau mengingat aku meski setahun sekali saat tahun berganti."


Dia mendekapku erat dengan tiba-tiba. Bahkan sangat erat hingga detakan jantungnya pun bisa terasa di dadaku. Kurasakan dia sedang menghirup bau badanku dengan dalam. Hal yang sama juga aku lakukan dengan wangi rambutnya yang khas. Ini cinta yang setengah gila. Meskipun baru setahun bersama, aku merasa sangat sulit melepaskannya. 


Ini cinta pertama dan entah aku bisa mencintai perempuan lain lagi atau tidak. Friska Maurin Eleanor gadis dengan senyum manis dan berparas cantik, juga sikapnya yang tidak mudah aku lupakan harus segera aku lepaskan.


"Kamu sudah punya satu tempat spesial di hatiku, Zu. Meski nanti atau kapan tempatmu nggak akan tergantikan."


Mendengar ucapannya yang lirih dan semakin parau membuatku makin erat mendekapnya. Mungkin ini pelukan yang terakhir yang bisa aku berikan padanya sebelum kami berpisah karena dinding Tuhan yang menjulang. 


"Dan aku percaya." 


Lama kami saling memeluk, hingga Friska-lah yang mengurai pelukan kami. Setelahnya kami saling memandang lagi. Wajah itu terlalu manis untuk merasakan kepahitan. 


'Semoga suatu saat nanti kita bertemu di sebuah kesempatan di mana kita sudah dalam satu keyakinan dan masih dengan cinta yang sama Seperti sekarang.'


Aku memberi jarak pada kedekatan kami dan merebahkan badan di rerumputan sembari melihat gugusan bintang dengan kedua tangan kujadikan bantal.


"Jika kamu sudah ingin pulang, bilang saja. Nanti aku antar." 


"Aku masih ingin di sini sama kamu, Zu." 


Kulirik ke kanan, ternyata dia juga merebahkan badan sama Sepertiku. Kini dua sejoli yang sebentar lagi akan berpisah dan memilih di jalan masing-masing sedang memandang ke arah langit yang sama dengan masa depan yang berbeda. Mungkin.


Kami saling diam, sembari sesekali mendengar dentuman petasan, juga melihat kembang api yang dilontarkan ke langit.


"Zu, kupikir kita lebih baik mulai besok tidak terlalu sering bertemu, bahkan aku ingin mencoba agar bisa hidup tanpamu karena membiasakan diri itu perlu, bukan?" Dia membuka suara setelah kurang lebih satu jam saling diam. Kupikir dia sudah tertidur tadi.


"Berat. Tapi aku juga akan berusaha. Karena semakin kita bersama, fakta menyesakkan itu masih terasa menyiksa." 


Dia menggamit tanganku lagi. "Setelah pergantian tahun selesai, tolong antar aku pulang, Zuhayr."

Posting Komentar