Hampa

Daftar Isi

Semuanya telah usai dan benar-benar selesai. Sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa bersatu lagi, kecuali jika Allah yang membolak-balikkan hati.


Aku menatap sendu ke arah punggung Friska yang kian lama kian menjauh dan masuk ke rumahnya. Ya, sekarang aku memang sedang menatap ke arahnya dari kejauhan. Bukan tidak berani mengantar sampai rumahnya, hanya saja dia tidak mengizinkan karena takut kakeknya akan memarahiku karena masih mengajaknya jalan, bahkan sampai larut malam begini. Bukan. Bukan larut malam, bahkan ini sudah hampir pagi karena waktu sudah menunjukan pukul 2.00 dini hari.


Sebuah kisah cinta yang diharapkan berakhir manis, tetapi harus berakhir sangat miris. Aku hanya berharap agar dia tetap bahagia dan tidak trauma akan adanya cinta yang baru nanti.

Hampa


Perlahan bersamaan dengan ditutupnya pintu rumah, aku pun menyalakan lagi mesin motor dan menjauh rumah yang mungkin nanti akan sangat aku rindukan.


Aku tidak melajukan motor ke arah pulang, melainkan mengitari kota Makassar yang mulai Hayri karena mungkin mereka sudah kembali ke rumah masing-masing dan tertidur lelap di kasur yang empuk. Sementara aku masih belum ada rencana untuk pulang, bahkan mata pun tak ada rasa kantuk sama sekali sebab terus saja teringat dengan perkataan demi perkataan yang diucapkan oleh Friska tadi.


Dia seolah berat sekali memutuskan hubungan ini, begitu juga denganku yang tidak mau mengakhiri, tetapi keadaan yang tidak memungkinkan untuk aku dan dia memaksa untuk terus bersama. Jika dilakukan pun pasti akan banyak hati yang terluka. Terutama yaitu kami berdua, sudah tahu tak bisa bersama kenapa masih memaksakan rasa.


Sama Seperti dia yang masih akan menyimpanku dalam hati di sebuah tempat khusus, dia juga sudah berada di tempat khusus dalam hatiku. Meskipun kami tidak berjodoh dia akan tetap abadi dalam hati dan kenanganku. Setidaknya saat setahun berteman dan setahun berpacaran dengannya bisa membuatku mengukir banyak kenangan manis bersama.

*

Aku Zuhayr. Hanya bisa diam dan menatap ke arah gerbang kampus tempat aku belajar sekaligus bertemu seorang gadis yang aku cintai dengan teramat sangat. Rasa gamang terus menghantui, antara melanjutkan untuk masuk dan belajar di sana dengan banyak kemungkinan bertemu Friska, atau memilih pergi dari sini dan meninggalkan kampus demi menenangkan pikiran.


Pada waktu di mana aku dilanda dengan kegamangan karena harus memilih antara sebuah ketenangan atau pendidikan, tiba-tiba ponsel yang beberapa hari ini tidak berdering karena tidak ada pesan atau notifikasi dari Friska, kini berdering dan membuat aku penasaran siapa yang menghubungi.


Di layar tertulis nama ibu di sana. Setelah lama beliau tidak menghubungi, kini meneleponku seolah tahu yang dirasakan anaknya ini. 


Gegas kuangkat dan mengucapkan salam pada malaikat tanpa sayap yang kusebut ibu. "Assalamualaikum, Bu."


"Waalaikumussalam, Hayr. Ibu ganggu nggak?" tanya ibu di ujung telepon sana.


"Enggak, Bu. Ada apa? Tumben sekali ibu telepon, Zuhayr." 


"Ibu cuma mau memastikan kamu baik-baik saja, Hayr. Gimana kuliahnya lancar?" 


"Alhamdulillah, Bu, Zuhayr baik-baik saja. Kuliah juga lancar. Mungkin setahun setengah lagi, Zuhayr lulus, Bu." 


"Alhamdulillah kalau lancar, nanti kalau kamu wisuda Ibu sama Bapak nggak bisa datang kamu jangan sedih, ya. Ini kami rencana mau ke Kalimantan kalau jadi. Misalkan kamu pulang nggak ada orang jangan kaget, ya. Soalnya Ibu nggak bisa sering telepon kamu. Kamu paham kan?" ucap Ibu panjang lebar.


"Paham, Bu. Ibu sama Bapak baik-baik di sana ya."


"Baik-baik juga kamu di sana. Kuliah yang bener, apa pun yang terjadi pendidikan harus nomor satu."


"Baik, Bu."


"Ya, sudah. Ibu cuma mau bilang itu saja. Assalamualaikum."


"Waalaikumussalam."


Awalnya aku yang tenggelam dalam sebuah kebimbangan kini merasakan aku sudah mempunyai arah ke mana harus melangkah. Aku memang harus segera menyelesaikan kuliah, meskipun itu dengan atau tanpa Friska. Pada mulanya aku juga ke sini untuk kuliah, bukan untuk mencari pacar. Jadi, apa pun yang terjadi aku harus menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.


Berat memang, tetapi sakit hati adalah risiko dari mencintai. 


Aku berjalan menuju ke kampus dan mulai melakukan semuanya Seperti biasa. Hal yang tidak biasa adalah tidak lagi makan siang di kantin dan memilih untuk makan di warung depan kantin. Bagiku itu salah satu cara meminimalisir bertemu dengan Friska, jika bisa meminta aku memilih tidak bertemu lagi jika tidak akan bisa bersatu.


Hari berlalu, bulan berganti, semester per semester pun terlewati dengan kehampaan tanpa adanya penyemangat. Satu-satunya manusia yang masih kerap kali menemaniku makan dan mengerjakan tugas adalah Herman. Sesekali aku juga tidur di rumahnya kalau lagi malas pulang ke tempat kos.


Orang tuanya yang ramah dan penyayang membuatku Seperti menemukan keluarga kedua, meski sesekali merindukan Friska, aku tetap bertahan untuk tidak bertemu dan menghubunginya.


"Kamu beneran udah nggak ada hubungan lagi sama dia?" 


Sekarang di semester akhir kami, Herman menanyakan lagi hal yang membuat aku mengingat Friska. Malam ini, aku memang menginap di rumah Herman untuk menggarap skripsi dan saling berbagi ide tentang apa yang sedang kami garap. 


"Iya, begitulah," jawabku sekenanya.


"Tapi kok kamu nggak bilang sama aku, kenapa putus dan kapan. Aku tau juga bukan dari kamu. Apa kamu udah nggak anggap aku teman?" 


Mungkin dia merasa tidak dianggap sebagai teman, padahal pertama kali jadian dengan Friska aku memberitahunya. Sekarang ketika kami putus, aku mengabaikannya.


"Bukan. Aku cuma nggak mau bikin hatiku tambah sakit." 


"Terus kalau aku tanya gini, kamu tambah sakit hati ya?"


"Kurang lebih," jawabku tanpa berpaling dan masih fokus pada komputer di depanku.


"Sorry, deh, ya. Nggak tau soalnya. Lanjut deh, aku mau bikin kopi. Kamu mau nggak?" 


"Boleh." 


Sekarang aku memang tengah berada di rumah Herman untuk meminjam komputer miliknya karena jika aku harus terus-terusan rental ke warnet itu tentu saja memerlukan biaya yang cukup lumayan.


Kalau di sini, aku bisa menggantinya dengan membantu dia menggarap skripsi juga karena kami memang berada dalam satu jurusan dan sedang menggarap skripsi di tahun yang sama.


Sebenarnya menyelesaikan skripsi ini aku berharap bersama Friska dan kami pernah membicarakan ini bersama. Juga ketika wisuda nanti aku akan melamar kemudian kami akan mencari pekerjaan dan mengumpulkan modal nikah. Namun, semua itu hanya angan belaka dan nyatanya aku malah terjebak di sini bersama satu-satunya sahabatku. Herman.


Rasa hampa tentu saja menghantui setiap langkah yang aku lalui sendirian.


Posting Komentar