Jadi Pembina Ekskul?

Daftar Isi

Sekarang aku masih berada di ruangan kepala sekolah, masih tidak habis pikir dengan berita yang menyebar begitu cepat. Baru tadi pagi aku didatangi para siswa yang menanyakan tentang blog pribadiku, kini ada kepala sekolah yang menanyakan hal sama.


"Tulisan Bapak banyak diperbincangkan oleh siswa-siswi di sekolah ini, Pak. Jadi ada guru yang melapor kepada saya. Bahkan setelah saya cek, ternyata tulisan bapak banyak disukai oleh orang-orang."

Pembina Ekskul

"Saya juga masih belajar, Pak. Bahkan menulis di sana hanya iseng-iseng saja," jawabku merendah.


Namun, itulah kenyataan yang sebenarnya. Aku membuat blog itu hanya iseng saja, hanya sebagai media untuk mengungkapkan isi hatiku.


"Ah jangan merendah begitu, Pak."


"Bukan begitu, tapi memang saya hanya iseng Pak."


"Jadi begini, Pak. Saya memanggil bapak ke sini karena saya mau meminta bantuan Bapak menjadi pembina ekstrakurikuler bahasa untuk membimbing siswa-siswi di sekolah kita ini untuk menulis, Pak."


Kaget. Itulah yang aku rasakan sekarang. Kalimat itu memang cukup jelas terdengar di telinga, tapi tetap saja aku menanyakan apa maksud dari semua ini karena otak masih belum bisa mempercayai.


"Maksud bapak bagaimana?" tanyaku mencoba untuk memperjelas tujuannya.


"Ya, begitu. Di sini kan belum ada bagian ekstrakurikuler bahasa, Seperti nulis dan yang lainnya, saya ingin adakan."


"Sepertinya saya belum semahir itu Pak, saya memang tidak bisa. Saya juga tidak enak dengan guru bahasa yang lain, kesannya saya lancang," jawabku sehalus mungkin.


Tatapan semringah tadi seketika berganti dengan kekecewaan dan itu tampak sangat jelas di wajah pria yang rambutnya mulai memutih itu. "Padahal saya berharap banyak pada Anda, Pak Zuhayr," katanya sembari menghela napas berat.


Dalam situasi ini aku seolah sedang disuguhi buah simalakama; diterima akan ada kesakitan, tidak diterima timbul kekecewaan.


"Bapak bisa tetap mengadakan ekskul tersebut, tetapi jangan saya yang menjadi pembinanya, saya akan membantu, tetapi tidak untuk menjadi pembina." 


"Baiklah, Pak Zuhayr. Terima kasih atas waktunya, dan kalau suatu saat Anda berubah pikiran dan ingin menjadi pembina, kesempatan itu masih terbuka hingga waktu yang tidak saya tentukan." 


"Baik, terima kasih kembali atas kesempatannya."


Usai diminta Kepala Sekolah untuk menjadi pembina ekstrakurikuler bahasa, aku pun menolak. Bukan bermaksud sombong atau bagaimana, hanya saja aku belum merasa pantas untuk itu. Apalagi banyak guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang lebih layak menduduki jabatan itu. 

Hayrulang bekerja di SMA, aku langsung kembali ke rumah. Setibanya di rumah, aku langsung bersih-bersih, dilanjutkan dengan memasak makan malam untukku nanti.


Tok! Tok!


Saat aku sedang mengganti baju, pintu rumahku diketuk. Aku menyelesaikan dulu ganti bajuku, barulah kemudian aku berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang bertamu.


Ceklek!


Ah, kukira bidadari cantik dari khayangan, taunya pangeran tanpa kuda. Ya, siapa lagi yang akan datang ke rumahku kalau bukan Anjar? Tentu saja dia.


"Ada apa, Njar?" tanyaku.


"Keluar yuk! Aku bosen nih," ujarnya.


"Males, kamu aja yang pergi sendiri," jawabku.


"Ya jangan dong, kalo sendiri kan gak bisa cerita-cerita," ucapnya.


"Bisa kok," ujarku.


"Gimana caranya?" tanya Anjar yang tampak penasaran.


"Ya tinggal cerita aja, anggap ada orang di hadapan kamu," ucapku yang langsung mendapatkan tendangan kecil di kakiku.


"Selalu rese!"


"Sama kamu aja!" ujarku.


"Cepetan kita jalan keluar! Aku udah rapi nih," ucapnya tidak terbantahkan lagi.


"Ya sudah tunggu sebentar." Aku pun mau tidak mau mengikuti saja, karena sebenarnya kami memang jarang jalan keluar.


Kami mengelilingi jalanan menggunakan motor Anjar. Dalam perjalanan menuju kafe, ia tampak bercerita padaku jika ia bertemu dengan seorang gadis yang menarik perhatiannya.


Kami berhenti di sebuah kafe yang sedang booming, para pengunjung kafe itu sangatlah ramai, tapi beruntungnya kafe itu luas.


Setibanya di kafe, hal pertama yang aku pesan adalah kopi, begitu juga dengan Anjar. Aku juga memesan camilan, sengaja bukan makanan berat karena aku berencana akan membelinya nanti saat mau pulang dan memakannya di rumah untuk makan malam. Niatku memasak makan malam tadi sudah melebur bersama ajakan Anjar untuk jalan keluar.


"Aku gak nyangka, ternyata jatuh cinta seberbunga ini. Semuanya tampak indah," ujar Anjar yang masih bercerita tentang gadis yang menarik perhatiannya di kantor tempatnya bekerja.


"Emang kamu yakin dia masih gadis? Nanti karena kamu cuma menerka-nerka, kamunya yang sakit di akhir," ucapku yang seolah sudah berpengalaman tentang percintaan.


"Aku sudah pastikan bahwa dia belum menikah dan belum punya pacar," ucap Anjar.


"Kamu tau dari mana?" tanyaku yang ikut penasaran.


"Tau dari dia langsung, aku nanya ke dia," jawab Anjar.


"Kamu agresif banget," ujarku yang tak menyangka jika Anjar bisa seberani itu, padahal mereka baru saling kenal. Apalagi gadis yang dimaksud oleh Anjar itu merupakan anak baru di tempatnya bekerja.

"Biarin!"


Kami pun menghabiskan waktu di kafe itu sekitar dua jam. Pembahasan kami tidak lepas dari curhatan Anjar tentang dia yang tengah jatuh cinta setelah sekian lama mati rasa.


"Kalo kamu sendiri nggak ada niatan buat jatuh cinta lagi?" tanya Anjar padaku.


"Niatan tentu saja ada, tetapi hatiku masih Hayrenuhnya milik Friska," jawabku jujur.


Entah kenapa pesona Friska mampu membuat aku mati rasa untuk mencintai atau bahkan hanya untuk sekadar tertarik pada perempuan lain. Bahkan, setelah sekian lama tidak bertemu, dia masih pemenang dari banyaknya yang datang. Luka yang tercipta sama sekali tidak mampu mengikis rasa yang sudah sejak lama terpatri di hati.


"Jangan gitu, Hayr. Waktu terus berlalu, setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Kamu harus buka hati jangan sampai mati rasa," ujarnya yang seolah menasehati aku.


"Iya, aku tau itu. Tapi untuk sekarang aku belum ada niatan untuk mencari pengganti Friska. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya. Aku nggak mau memaksakan hatiku sendiri untuk mencintai perempuan lain agar bisa melupakannya. Karena bukannya lupa, aku bisa saja menyakiti hati perempuan yang aku beri harapan. Padahal aku tahu sendiri jika hatiku milik Friska," jawabku.


Ya, aku memang masih mencintai Friska. Wajar bukan? Namun, aku sudah bertekad untuk hidup dengan baik ada atau tidaknya Friska.


Hidup harus terus berjalan, aku percaya dengan kata-kata itu. Aku juga tidak ingin membuat orang tuaku sedih hanya karena patah hatiku Seperti beberapa bulan lalu.

Posting Komentar