Meminta Restu

4 min read

Untuk pertemuan kali ini aku dan Friska bertemu di sore hari dengan matahari yang sedikit menyengat kulit. Keadaan sekarang tidak menyurutkan semangat kami untuk saling mengobrol lebih dalam tentang satu sama lain. Setelah obrolan panjang kami pada akhirnya dia membuka suara yang membuat aku sedikit terkejut. 

Meminta Restu


"Zuhayr, kayaknya aku bakal ngomong sama orang tuaku," katanya.


"Tentang?" tanyaku.


"Tentang kita. Tentang aku yang sedang mempelajari tentang Islam." 


"Kamu udah siap?" Aku bertanya lagi karena memang ini akan terjadi cepat atau lambat.


Sebenarnya aku pernah beberapa kali ke rumahnya, tetapi kami belum sampai pada taraf memperkenalkan diri untuk ke jenang yang lebih serius lagi. Namun, karena ini sudah semester lima, mungkin ini waktu yang tepat untuk semuanya.


"Siap. Apa pun konsekuensinya tentu saja akan aku hadapi," jawabnya lagi.


"Bukan hanya kamu yang akan menghadapi, tetapi kita. Karena ini adalah tentang kita, bukan hanya tentang kamu." Aku berbicara sambil memegang tangannya erat. Aku hanya ingin agar dia tidak merasa sedang sendirian karena aku akan selalu ada di sisinya dan membersamainya.


Dia pun menyambut tanganku dan kami saling menggenggam seolah menguatkan tanpa saling mengucapkan kalimat. 

"Makasih ya, Sayang." 


Akhirnya, aku dipanggil sayang sama dia. Ya, biasanya dia memanggilku dengan nama sekarang memanggilku dengan panggilan sayang. Sepertinya dia memang sudah percaya padaku dan ingin melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius lagi.

*

Hari ini tepat satu tahun anniversary hubunganku dengan Friska dan kami memilih untuk memberitahukan niat kami melanjutkan ke jenjang yang lebih serius lagi kepada orang tua dan keluarga besar Friska juga tentang niatnya untuk bisa masuk Islam.


Aku mulai melangkahkan kakiku memasuki rumah yang didominasi warna putih dan hitam pada beberapa sudutnya. Lantai rumah ini terasa begitu dingin atau mungkin itu hanya perasaanku saja yang terlalu grogi karena berada di depan calon mertua. Ya, meskipun memang ini bukan pertemuan pertama antara aku dan orang tua Friska, tetapi rasa canggung ini masih menguasai suasana.


Setelah aku masuk dan dipersilakan duduk oleh orang tua Friska beberapa saat kemudian gadis yang telah satu tahun menjadi kekasihku itu keluar dan membawakan teh untukku dan kedua orang tuanya. Lalu gadis itu duduk di samping sang ayah. 


Aku masih diam, di dalam otak sini terus saja merangkai kata apa yang harus aku sampaikan kepada orang tua Friska. Sungguh ... aku sangat tidak ingin mengucapkan suatu kata yang mungkin tidak berkenan di hati mereka dan menciptakan kesan yang buruk untuk hari yang penting ini.


"Sebelumnya maaf karena kedatangan saya mungkin mengganggu istirahat Bapak dan Ibu siang ini, tetapi kedatangan saya kali ini memiliki niat baik yaitu ingin mengajak Friska menuju ke jenjang yang lebih serius dalam hubungan kami," ucapku mengawali percakapan canggung ini.


"Loh, memangnya selama ini kamu nggak serius sama anak saya?" tanya ayahnya Friska yang bernama Samuel.


Deg! Ucapan itu seperti sebuah pukulan yang tepat mengenai ulu hati. Di tengah rasa canggung dan grogi yang melanda malah aku dianggap nggak serius. Ya Allah.


"Bukan, begitu maksudnya, Pak. Saya serius, tapi ini maksudnya saya mau naik level. Saya ingin menikahi anak Bapak, Friska. Kalau Bapak setuju." Aku bicara dengan gugup dan entah, ini lebih parah dari ujian dadakan Pak Amir, si dosen killer.


"Maksudnya—" ucap Friska yang langsung dipotong oleh sang ayah lagi.


"Iya Ayah tau, Friska. Ayah cuma lagi tanya sama Zuhayr, sejauh mana dia bisa melindungi kamu dari tekanan, tapi lumayan." 


"Jadi apa saya lulus dalam ujian ini?" tanyaku pada ayahnya Friska.


"Bisa lah saya pertimbangkan." Pria yang usianya sudah lebih dari setengah abad ini menatap wajahku sembari mengelus kumisnya.


"Berarti saya diterima jadi menantu di keluarga ini?" 


"Memangnya kapan saya bilang begitu?"


Lah? Kupikir ... ah sudahlah. Gairah yang tadi sempat berpihak padaku kini berganti dengan ragu yang membelenggu.


"Hey, Friska! Lihat wajah Zuhayr. Dia langsung lusuh lagi wajahnya. Santai Zuhayr, santai saja. Justru kami menang menunggu ada lelaki yang berani melamar anak saya ke sini." Gelak tawa mengikuti ucapan pria yang akan menjadi calon mertuaku ini.


Friska dan ibunya juga malah ikut tersenyum, sepertinya memang mereka sedang menahan tawa karena ekspresi wajahku tadi yang mungkin bagi mereka sangat lucu. 


"Hehehe, wajahmu memang sangat lucu, Bang," ucap Friska di sela tawa mereka.


Hem ... kali ini dia panggil aku Bang. Entah sebentar lagi dia akan memanggilku dengan panggilan apa, tapi ya sudah lah biarkan aku jadi badut asalkan dia senang.


"Ya, aku kan emang serius sama kamu, Friska. Kalau dibilang begitu ya, aku kaget," aduku padanya.


"Maafkan suami saya yang sudah menggodamu, Zuhayr." Kali ini wanita yang telah melahirkan kekasihku-lah yang membuka suara.


"Iya, Bu. Nggak apa-apa asalkan saya direstui dengan Friska." Kelegaan otomatis terlukis jelas di hati ini karena memang inilah yang aku inginkan.


"Tapi, Ayah ...." Friska berkata lirih dengan akhir kalimat yang sepertinya sengaja digantung olehnya.


"Apa?" tanya sang ayah singkat yang kemudian dilanjutkan dengan menyeruput teh di cangkir putih di hadapan kami.


Aku pun mengikuti karena ada kode dari pria itu agar aku juga minum teh ini. 


"Friska ada yang mau dibicarakan," kata Friska perlahan.


Aku tahu, dia pasti sedang merasakan seperti apa yang tadi aku rasakan, grogi.


"Iya, mau bicara apa?" Sepertinya Pak Samuel sudah penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh anak semata wayangnya itu.


"Friska ingin masuk Islam," ucap Friska dengan singkat, padat, dan jelas.


Namun, hal itu mampu membuat kedua orang tuanya melotot pada gadis cantik itu. Sekarang gadis itu menunduk, dia sama sekali tidak berani menegakkan wajahnya saat ini. Mungkin ekspresi ini yang aku pasang juga tadi.


"Apa alasanmu ingin masuk Islam?" tanya Pak Samuel pada anaknya.


Sementara aku hanya mendengarkan apa yang sekiranya akan diucapkan oleh kekasihku itu. 


"Ini karena ...." Friska menggantungkan ucapannya lagi.


"Kalau karena cinta pada manusia lalu kamu ingin pindah keyakinan lebih baik jangan, karena kalau cintamu pudar keyakinan barumu itu pun akan terlihat tidak sebaik itu," ucap Pak Samuel dengan bijak dan aku menyetujui hal itu.


"Tapi kalau memang sudah menjadi keputusan dari hati kecilmu, kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Semoga hal ini jadi pilihan terbaikmu, bukan begitu, Yah?" Kali ini ibunya menimpali.


Friska yang sejak tadi menunduk pun kini akhirnya bisa menegakkan kepala dan menatap ke arah orang tuanya.


"Kalian memutuskan sepihak tanpa persetujuanku? Apa kalian sudah tidak menganggapku ada?"

Posting Komentar