Part 8 Welcome in Sulawesi
"Welcome in Sulawesi.jika aku bisa memilih, aku ingin lahir dan besar di sini"
Dani berdecak karena merasa tidak dihargai oleh sang kekasih, Riris. Namun, lelaki itu tetap peduli dengan Riris. Dia menelepon beberapa anak buahnya.
Tak berapa lama, anak buah Dani pun datang dengan pakaian
serba hitam dengan badan yang kekar, membuat mereka terlihat garang.
“Kalian bergegas ke rumah Riris dan kawal dia menuju
Sulawesi. Aku tidak ingin dia terlalu dekat dnegan Fadil!” titah Dani dengan
tegas.
“Izinkan kami untuk bersiap terlebih dahulu, Bos,” pinta
salah satunya.
“Cepatlah!”
Lantas tiga orang anak buah Dani pun pergi dari ruangan dan
segera bersiap.
Sementara itu hati Riris bergemuruh tak karuan. Kota
Makassar, Sulawesi, terasa begitu dekat namun begitu jauh. Ia telah berada di
bandara bersama Fadil, koper sudah terpasang rapi di atas troli, namun
pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ingatan tentang ayahnya yang menitipkan
dia begitu saja saat ia masih kecil menghantui. Kini, dengan tekad bulat, ia
akan mencari jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
“Kamu siap kan?” tanya Fadil.
“Aku siap banget,” jawab Riris sambil memaksa tersenyum.
Padahal, bayangan wajah Dani terus menghantuinya.
Pertengkaran hebat mereka tadi di kantor masih terasa perih. Tuduhan-tuduhan
Dani yang tidak berdasar membuat Riris merasa sangat kecewa. Bagaimana bisa
orang yang dicintainya begitu tidak percaya padanya? Kekecewaan itu seakan
menjadi beban tambahan yang harus ia bawa dalam perjalanannya kali ini.
Untung saja, Fadil selalu ada di sisinya. Fadil yang selalu
mengerti dan mendukung semua keputusan Riris. Kehadiran Fadil sedikit banyak
berhasil meredakan kekesalan Riris. Mereka berdua duduk di kursi tunggu,
sama-sama menanti panggilan keberangkatan.
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Ris?" tanya
Fadil memecah keheningan beberapa saat.
Riris mengangguk mantap. “Aku harus tahu siapa ayah
kandungku. Aku gak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Fadil mengusap bahu Riris lembut. “Aku bakal selalu ada buat
kamu, Ris. Apa pun yang terjadi.”
“Thanks ya.”
Mereka berdua berjalan menuju ke pesawat ketika panggilan
mulai menggema di ruang tunggu. Keduanya duduk berdampingan, tetapi saling diam
dengan pikiran masing-masing.
Selama perjalanan, Riris mencoba menyibukkan diri dengan
membaca buku. Namun, pikirannya tetap saja melayang pada Dani dan ayahnya. Ia
berharap perjalanannya kali ini akan membawa jawaban atas semua pertanyaannya.
Ia juga berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan Dani dan lanjut ke jenjang
pernikahan yang begitu dia impikan.
Sementara itu, di sisi lain para anak buah Dani baru saja
sampai di bandara ketika pesawat yang ditumpangi Riris telah lepas landas.
Ketiga pria berbadan kekar itu mencari ke sana kemari di
mana keberadaan kekasih bosnya itu. Hingga pada akhirnya salah satu anak buah
Dani mencoba mengecek jadwal penerbangan menuju ke Makassar.
“Ck! Kita terlambat!” keluh salah satunya.
“Lalu kapan penerbangan ke sana ada lagi?” tanya yang
lainnya.
“Nanti jam lima sore,” jawab si pria tadi.
“Jadi kita nunggu nih?”
“Kalau lo punya sayap, lo terbang aja ke sana!” kesal si
pria tadi karena temannya menanyakan hal yang tidak perlu.
Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu bandara sambil
mengantuk dan sesekali berkeliaran ke sana kemari, tetapi mereka tidak
mengabarkan jika ketinggalan pesawat, karena jika Dani mengetahui hal itu maka
dia akan murka.
Sementara itu, Riris dan Fadil telah sampai di kota Makassar
setelah menempuh sekitar dua setengah jam perjalanan.
Sesampainya di Makassar, Riris dan Fadil langsung menuju
penginapan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Kota Makassar terlihat begitu
berbeda dari kota asalnya. Udara yang panas dan bangunan-bangunan tua menambah
kesan eksotis kota ini.
Mereka berada di kamar terpisah, tetapi bersebelahan.
“Kita mandi terus beberes dulu, nanti aku kabari kamu buat
makan malam,” kata Fadil sebelum masuk kamar.
Riris tidak menjawab, tapi hanya mengacungkan jempol
pertanda dia setuju.
Sementara itu di sisi lain, anak buah Dani baru saja lepas
landas dari bandara. Di dalam pesawat mereka bertiga saling menyalahkan sebab
ketinggalan pesawat.
“Ini nanti kalau dimarahin Bos, berarti lo yang salah,” kata
salah satunya.
“Kok gue?”
“Iya, kita kan nungguin lo beberes lama banget. Dasar!”
umpatnya.
“Hih! Gue tonjok baru tau rasa!” ancam pria itu.
*
Mentari perlahan tenggelam di ufuk barat, menorehkan warna
jingga kemerahan di langit Makassar. Cahaya lampu kota mulai berkelap-kelip,
mengundang siapa saja untuk menikmati malam yang syahdu. Di sudut kota yang
ramai, Riris dan Fadil tengah bersiap untuk menikmati makan malam bersama.
“Wah, Makassar malam ini benar-benar meriah ya, Ris,” seru
Fadil sambil memandang ke sekeliling.
“Iya, Dil. Udah lama kita enggak makan malam bareng gini,”
sahut Riris sambil tersenyum.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju sebuah restoran yang
terkenal dengan hidangan seafood-nya yang segar. Sesampainya di sana, mereka
langsung disambut oleh aroma khas laut yang menggugah selera. Setelah memilih
tempat duduk yang nyaman, mereka pun mulai menelusuri menu yang begitu beragam.
“Kamu mau pesen apa, Ris?” tanya Fadil.
“Aku mau coba coto Makassar sama pallu basa. Kamu gimana?”
jawab Riris.
“Aku juga mau cobain coto, terus ditambah dengan ikan bakar,”
timpal Fadil.
Setelah mereka berdua memesan makanan, Riris terdiam. Dia
teringat kembali dengan ayahnya. Raut wajah yang tadinya antusias sekarang
terlihat berubah menjadi sedikit murung.
“Jangan khawatir, besok kita cari ayahmu sama-sama.” Fadil
menenangkan Riris seolah tau apa yang dirasakan.
Hal itu hanya dijawab dengan sebuah anggukan oleh Riris.
“Sekarang kita makan yang banyak biar besok kuat dan
semangat nyari ayahmu. Oke?” Fadil terus saja mencoba menghibur temannya itu.
“Iya. Makasih ya, Dil.”
Tak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. Semangkuk coto
Makassar yang hangat dengan suwiran dagingnya yang lembut, serta seporsi ikan
bakar yang harum dan gurih, langsung mengundang selera makan mereka.
Sambil menikmati hidangan lezat, mereka berdua berbincang
banyak hal terutama rencana mereka mencari ayahnya Riris.
Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk
berjalan-jalan menyusuri pantai Losari. Angin laut yang sepoi-sepoi dan suara
ombak yang menenangkan membuat hati mereka merasa tenang. Mereka duduk di tepi
pantai sambil menikmati pemandangan malam yang indah.
“Aku bersyukur banget punya sahabat kayak kamu, Dil,” ujar
Riris.
“Aku juga bersyukur banget punya sahabat sepertimu,” balas
Fadil.
“Meskipun aku berharap kita bisa lebih dari sebatas sahabat,”
lanjut Fadil dalam hatinya.
Setelah puas menikmati angin di pantai, Riris dan Fadil
kembali ke hotel dengan perasaan tenang dan bersiap istirahat agar fresh
keesokan harinya.