Part 18 Depresi
Pemakaman Hadi berjalan dengan khidmat dan lancar. Riris yang penuh dengan kesedihan, terus ditemani oleh Fadil dan keluarganya sepanjang prosesi. Kehadiran mereka memberikan kekuatan dan dukungan yang sangat dibutuhkan Riris.
Di pemakaman, banyak orang yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Hadi. Teman-teman, tetangga, dan kolega Hadi datang untuk mengucapkan selamat tinggal dan memberikan dukungan kepada keluarga yang ditinggalkan. Bahkan beberapa orang yang tidak mereka kenal mendampingi Hadi hingga pemakaman usai.
Riris berdiri di samping makam ayahnya, menatap tanah yang mulai menutup peti jenazah. Fadil berada di sampingnya, memegang tangannya erat untuk memberikan kekuatan. Prasetyo dan istrinya juga berdiri di dekatnya, menawarkan pelukan dan kata-kata penghiburan.
“Ayah, semoga engkau tenang di sisi-Nya,” bisik Riris dengan suara bergetar, air mata mengalir di pipinya.
Setelah prosesi pemakaman selesai, para pelayat satu per satu mendatangi Riris untuk mengucapkan bela sungkawa dan memberikan semangat. Riris menerima ucapan tersebut dengan penuh rasa syukur, merasa sedikit terbantu oleh dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Sejak pemakaman Hadi, kehidupan Riris berubah drastis, hari-harinya dihabiskan untuk merenung di rumah. Keceriaan yang dulu selalu menyertainya seolah sirna, digantikan oleh kesedihan yang mendalam, apalagi ditambah dengan perselingkuhan Dani yang harusnya sebentar lagi mereka menikah.
Riris jarang keluar dari kamarnya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan berpikir tentang ayahnya dan semua kejadian yang telah dialaminya. Fadil dan keluarganya berusaha keras untuk memberikan dukungan dan semangat, namun kesedihan Riris tampaknya sulit untuk diusir.
Fadil sering datang mengunjungi Riris, membawa makanan atau hanya untuk menemani. “Riris, aku di sini untukmu. Kamu tidak sendirian,” kata Fadil dengan lembut setiap kali dia berkunjung.
Namun, meskipun Fadil dan keluarganya selalu ada di sampingnya, Riris tetap merasa hampa. Dia berusaha bangkit, tapi bayangan kehilangan ayahnya dan kekecewaan terhadap Dani terus menghantui pikirannya.
Prasetyo dan istrinya juga mencoba menghibur Riris, membawanya keluar untuk menghirup udara segar atau hanya untuk berjalan-jalan di taman. Namun, Riris sering menolak, merasa lebih nyaman di dalam kamarnya.
“Riris, Ayah tahu ini berat bagimu. Tapi kamu harus mencoba untuk bangkit. Ayah yakin Hadi ingin melihatmu bahagia,” kata Prasetyo suatu hari.
Riris hanya mengangguk pelan, berusaha menunjukkan bahwa dia mendengarkan. Namun, di dalam hatinya, rasa kehilangan itu masih begitu mendalam.
Hari-hari berlalu dengan Riris mencoba melawan depresinya. Meskipun sulit, dukungan dari Fadil dan keluarganya perlahan-lahan mulai memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan yang dia rasakan. Riris tahu bahwa dia harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menghormati kenangan ayahnya yang telah pergi.
Di ruang makan keluarga, suasana sunyi menyelimuti. Prasetyo, Fadil, dan Riris duduk mengelilingi meja, menikmati makan malam dalam diam. Prasetyo dan Fadil saling pandang, berusaha mencari cara untuk membuat Riris merasa lebih baik.
Akhirnya, Prasetyo memecah kesunyian. “Riris, Ayah dan Fadil berpikir mungkin sebaiknya kita berlibur sebentar. Menghirup udara segar di tempat yang tenang bisa membantumu merasa lebih baik.”
Riris, yang sedang mengaduk kopinya tanpa semangat, menatap ayahnya dengan tatapan kosong. “Berlibur? Riris nggak tahu, Ayah. Rasanya sulit untuk menikmati apa pun sekarang.”
Fadil mencoba menambahkan, “Riris, kami tahu ini berat untukmu. Tapi kadang-kadang, perubahan suasana bisa membantu mengalihkan pikiran. Kami akan pergi ke tempat yang tenang dan indah. Mungkin pantai atau pegunungan. Bagaimana menurutmu?”
Riris menghela napas panjang, mencoba mempertimbangkan usulan tersebut. “Aku mengerti niat baik kalian, tapi aku nggak tahu apakah aku bisa menikmati liburan. Bayangan Ayah Hadi, Dani, dan semua yang terjadi masih menghantuiku.”
Prasetyo meraih tangan Riris dan menggenggamnya dengan lembut. “Nak, kita tidak meminta kamu untuk melupakan semuanya. Hanya saja, mungkin sedikit waktu di tempat yang berbeda bisa memberikanmu kedamaian. Kami akan selalu ada di sampingmu.”
Riris menatap ayahnya, merasakan ketulusan dan cinta di balik kata-katanya. Dia tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik untuknya.
Riris tersenyum tipis, meskipun hatinya masih berat. Dia tahu bahwa dengan dukungan dari ayahnya dan Fadil, dia mungkin bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah badai kesedihannya.
Riris, meskipun awalnya ragu, akhirnya setuju. “Baiklah, mungkin ini bisa membantuku merasa lebih baik,” katanya dengan suara pelan.
“Aku rasa pantai akan bagus. Suara ombak bisa menenangkan,” jawab Riris.
Fadil tersenyum lega. “Makasih, Ris. Kami akan memastikan perjalanan ini menyenangkan dan nyaman untukmu. Percayalah, ini bisa membantumu merasa lebih baik.”
Prasetyo mengangguk setuju. “Kita akan pergi bersama-sama. Mari kita rencanakan perjalanan ini dengan baik. Kita semua butuh waktu untuk menyembuhkan diri.”
Mereka pun mempersiapkan perjalanan mereka. Saat hari keberangkatan tiba, Riris merasa sedikit lebih baik. Meskipun begitu, bayangan tentang Dani dan pengkhianatannya terus menghantui pikirannya.
Setiap kali dia mencoba untuk menikmati momen, rasa dejavu tentang Dani selalu datang kembali, mengingatkannya pada rasa sakit yang dia rasakan.
Di perjalanan menuju pantai, Fadil berusaha mengalihkan perhatian Riris dengan berbicara tentang hal-hal menyenangkan yang bisa mereka lakukan di sana.
“Kita bisa membangun istana pasir, atau hanya duduk di tepi pantai menikmati matahari terbenam,” kata Fadil dengan antusias.
Riris tersenyum tipis. “Kedengarannya menyenangkan.”
Setibanya di pantai, pemandangan indah dan suara ombak berhasil memberikan sedikit kedamaian bagi Riris. Meskipun masih merasa sedih dan terus diganggu oleh ingatan tentang Dani, dia berusaha untuk menikmati momen tersebut bersama orang-orang yang peduli padanya.
“Aku ingin bernyanyi sedikit untukmu, boleh nggak?” tanya Fadil meminta izin.
“Kamu mau nyanyi apa?” Riris bertanya balik.
“Sebentar ya, aku mau ambil gitar di mobil,” jawab Fadil yang kemudian beranjak, sedangkan Riris masih duduk dan memandang langit sore yang mulai jingga.
Fadi kembali duduk di sebelah Riris dan mulai menyanyikan lagu milik Andra and The Backbone yang berjudul Sempurna.
Riris tenggelam dalam suasana senja yang ditemani lagu dan suara merdu Fadil.
Prasetyo dan istrinya melakukan berbagai upaya untuk membuat Riris merasa lebih baik. Tentang ide untuk menyanyikan sebuah lagu untuk Riris itu juga ide dari mereka. Perlahan tapi pasti, Riris mulai merasa ada harapan dan kedamaian di tengah kesedihannya.
Meskipun jalan untuk pulih dari rasa kehilangan dan pengkhianatan masih panjang, Riris merasa bersyukur memiliki orang-orang yang selalu mendukungnya. Dia tahu bahwa dengan waktu dan dukungan mereka, dia bisa menemukan kebahagiaan lagi.
Belum ada Komentar untuk " Part 18 Depresi"
Posting Komentar