Si Humble yang Ceroboh
Aksara meneguk salivanya yang tiba-tiba terasa pahit, di dalam dadanya ada yang berdetak hebat seperti genderang yang sedang ditabuh. Dengan perasaan kikuk dia bergegas menarik tangan Hesty dan membantunya untuk kembali berdiri, untung saja di sekitar perpustakaan siang itu tidak ada satu orang pun.
Di balik rasa sungkannya, Aksara jua merasa sedikit gemas dengan tingkah wanita yang baru dijumpainya. Bagaimana tidak? Ternyata sikap humble serta mimik wajah yang kalem tidak serta merta membuat sikapnya pun demikian, ada sifat ceroboh yang terselip, mungkin sebagai pelengkap.
Tak
ingin berlarut-larut dengan pikiran ngawurnya, Aksara bergegas mendorong pintu
perpustakaan dan masuk ke dalamnya. Seolah terhipnotis, aroma kertas yang
berpadu dengan keheningan terasa amat memikat, dia begitu menyukai hal
tersebut.
Berbeda
dengan Hesty yang langsung mendatangi
rak-rak buku, Aksara memilih untuk mengistirahatkan tubuh di bangku yang
memang disediakan sekolah untuk siswa-siswinya. Lelaki beralis tebal itu tak
bisa menyembunyikan rasa lelahnya, kepalanya juga masih terasa berat, walaupun
mungkin tidak separah tadi begitu dirinya berangkat ke sekolah.
Di
sisi lain, di belakang rak-rak raksasa yang menyimpan ribuan buku, Hesty
terlihat tengah memilah buku-buku bacaan. Mulut wanita berlesung pipi itu
terlihat bergumam, sementara tangannya seolah asyik sendiri.
Beberapa menit kemudian, netranya menyipit menatap leka
t-lekat buku yang kini berada tepat di depannya. Selain bersampul menarik, nama sang penulis pun seperti tidak asing di benaknya. Aksara Dwi Putra.
Bola
mata Hesty berputar menatap kesana kemari, tampak sekali jikalau dirinya tengah
berpikir dalam. Untuk menjawab
pertanyaan yang bercokol di kepalanya, wanita itu pun bergegas membuka lembar
belakang buku. Sayang, sang penulis hanya mencantumkan namanya dan secuil
kata-kata bijak, tak ada foto ataupun sosial media yang mungkin berisikan
kumpulan karya-karyanya.
Karena
penasaran Hesty memutuskan untuk membawa serta novel tersebut beserta buku
paket dan beberapa buku lainnya.
Setelah
menyusun buku-buku pilihannya ke lengan, Hesty segera berjalan menuju tempat di
mana Aksara berada.
“Pak,
saya sudah selesai mencari buku-buku yang saya butuhkan,” ucap Hesty seraya
tersenyum membuat lesung pipit di pipinya tampak kentara.
Aksara
yang tengah fokus dengan bukunya sedikit tersentak, refleks lelaki berhidung
mancung itu menutup buku dan menyudahi pekerjaannya.
“Baiklah,
mari saya bantu bawakan.”
Aksara
bangkit dari duduknya, berniat untuk mengambil alih buku-buku yang sudah
tersusun di lengan Hesty. Namun, wanita berkerudung cokelat itu malah menolak.
“Tidak
apa, Pak, biar saya bawa sendiri, lagian ini tidak terlalu berat,” tolak Hesty
ramah. Sebenarnya dia merasa sedikit pegal karena buku-buku yang dibawanya
cukup banyak, hanya saja Hesty merasa sungkan karena sejak tadi terus
merepotkan Aksara. Belum lagi sifat cerobohnya yang mungkin saja membuat lelaki
itu tidak nyaman.
Entahlah,
Hesty pun kadang merasa bingung, satu sifat buruknya itu begitu sulit untuk
dihilangkan padahal usianya terbilang sudah dewasa. Dia merasa jikalau dirinya
sudah berhati-hati, bahkan saat melakukan apa pun dia berusaha untuk sebaik dan
sepelan mungkin, tetapi tetap saja.
Hari
ini Aksara sudah dua kali memintanya untuk lebih berhati-hati, tentu saja dia
tidak ingin lelaki itu kembali memintanya berhati-hati untuk yang kesekian
kali, padahal baru sehari saja dia bekerja. Hesty hanya bisa berharap agar
sikap cerobohnya itu tidak sampai merugikan orang-orang di sekelilingnya.
“Benarkah?”
Aksara mencoba memastikan, satu alisnya terlihat terangkat.
“Tentu
saja.” Hesty mengangguk mantap. “Kalau begitu saya duluan ya, Pak Aksara.
Terima kasih untuk segala bantuannya.” Setelah menyelesaikan ucapannya Hesty
pun beranjak meninggalkan Aksara dan ribuan buku di belakangnya.
Setelah
Hesty pergi, Aksara kembali membuka bukunya, dia kembali menyelesaikan
pekerjaan yang beberapa menit lalu tertunda.
Netra
tajam lelaki itu menyorot pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Waktu menunjukkan pukul 10:45 WIB itu artinya masih ada waktu sekitar 15 menit
sebelum dirinya kembali mengajar. Karena sejak pagi perutnya baru terisi teh
hangat dan sebuah roti, dia pun memutuskan untuk menyantap bekal makan
siangnya.
Sementara
Hesty yang baru saja tiba di ruang guru bergegas menyimpan buku-buku yang baru
dibawanya ke atas meja—meja yang mulai hari itu akan menjadi rumah keduanya.
Tangan
lentik wanita itu terlihat benar-benar lihai saat melakukan pekerjaan, hingga
dalam hitungan menit saja, buku, kalender mini, tempat pensil, dan beberapa
benda lainnya sudah bertengger rapi di atas mejanya.
Tepat
setelah menyelesaikan pekerjaannya, kepala sekolah dan satu guru lainnya
mendatangi Hesty, mereka mengajaknya untuk berkeliling mengenalkan lingkungan
sekolah. Ya, Hesty memang belum sempat school tour, selain pagi tadi hujan, dia
pun harus mengisi beberapa berkas mengenai kepindahannya.
Sama
seperti pengenalan biasanya, selain mengenal denah sekolah, Hesty pun
diperkenalkan kepada murid-murid yang akan diajarnya yaitu kelas sebelas.
Setelahnya, dia diminta untuk kembali ke kantor membereskan apa-apa saja
keperluannya, agar hari Senin nanti semuanya telah siap dan dia sudah bisa
memulai proses belajar mengajar.
Hesty
merasa lega, selain diterima baik oleh rekan-rekannya di sekolah, dia pun bisa
terus bersama dengan ibu bapaknya.
Di
perjalanan menuju ke kantor, tiba-tiba langkah Hesty terhenti, matanya seolah
terhipnotis pada mading sekolah yang tadi belum sempat dia cermati. Selain
peraturan sekolah, pengumuman, dan kegiatan ekstrakurikuler siswa, beberapa
karya tulis pun bertengger rapi di papan berbentuk persegi panjang itu.
Hesty
benar-benar dibuat kagum pada lukisan-lukisan yang berada di depannya.
Lukisan-lukisan itu tampak begitu rapi dan enak dipandang. Satu per satu dia
amati dengan saksama, bahkan nama sang pemilik pun tak luput dari perhatiannya.
Hesty
jadi teringat dulu sewaktu kecil, dia jua pernah memiliki keinginan untuk
menjadi seorang pelukis, sayang cita-citanya itu tidak tercapai karena dirinya
memang tidak mahir di bidang tersebut. Tawa kecil terlihat menghias bibirnya,
dia merasa geli jika teringat hal konyol tersebut, bagaimana bisa dia menggapai
cita-citanya itu sedang menggambarkan pun dia tak bisa. Bisa, hanya saja tak
serupa, jauh dari kata indah apalagi memukau.
Di
tengah asyiknya mengenang masa lalu, mata Hesty kembali terhipnotis pada
selembar buku berisikan beberapa bait puisi.
Rasa
kagum pada lukisan-lukisan tadi saja belum hilang, kini dia kembali dibuat
kagum pada karya tangan tersebut. Benar-benar dalam dan menyentuh hati,
sampai-sampai dia tak sadar jikalau sudah menghabiskan waktu cukup lama di
sana.
Oasis
rindu seketika terempas
Ketika
senyum itu menyapaku
Tanpa
perlu alasan pun balasan
Akankah
iya atau masih harus menunggu sekian lama?
Vibes
tercipta terlalu nyata
Insting
pun tak jua menolaknya
Apa
ini saatnya?
Namun
aku pun tak tahu harus memulai dari mana
Temukah?
Atau layang cinta?
Ortodoks
waktu mungkin menjawabnya “Aksara Dwi Putra,” gumam Hesty pelan.
Ingatannya
langsung tertuju pada novel yang tadi dia temukan di perpustakaan. Bayangan
wajah Aksara pun seolah menari di kepalanya.
“Benarkah
dia penulisnya?”