Wanita Dari Masa Lalu

SepwaL 10 min read

Ting !!... Sebuah pesan masuk ke handphone Aksara membuat layar benda pipih tersebut menyala. Aksara abai, dirinya masih fokus menuangkan segala ide yang ada di kepalanya pada buku. Ya, buku. 

Lelaki itu memang lebih menyukai menulis di buku daripada laptop atau ponselnya, dia merasa lebih leluasa pun mendalami ceritanya. Aroma kertas disertai gesekan pena seolah membuat emosinya tertuang langsung. Setelah semuanya selesai, barulah dia menyalin ceritanya pada laptop.

Wanita Dari Masa Lalu

Fokus Aksara kembali terganggu saat ponselnya kembali berdering, akhirnya dia memutuskan untuk membuka pesan yang ternyata dari rekannya di sekolah.

[Istirahat, kami ke rumahmu, ya.] Singkat dan padat, tetapi sukses membuat kepala Aksara berdenyut.


Setelah mengatur napasnya beberapa saat, lelaki itu pun mulai mengetik balasan.


[Kami siapa?]

[Mungkin aku dan Hesty, kepala sekolah sedang ada urusan di luar.]


Melihat balasan dari temannya yang baru saja sampai, mata Aksara membulat sempurna, otot-otot di tubuhnya serasa kaku. Bagaimana mungkin rekannya itu akan datang bersama Hesty—seseorang yang baru ditemuinya satu kali.


[Maaf ya, Pak bukan nolak, aku lagi kontrol di klinik nih,] balasnya cepat dengan rasa sungkan yang tak tersampaikan lewat kata.


[Aku sehat kok, besok juga ke sekolah, nggak usah dijenguk segala, ngerepotin.] Aksara kembali mengirimkan pesan sebelum lawan bicaranya sempat memberikan balasan.


Di seberang sana Dimas terlihat mengerutkan kening, sampai akhirnya dia tersenyum tipis dan mengirimkan balasan singkat.

[Oke.]

Aksara bernapas lega begitu melihat balasan yang Dimas kirimkan. Dia pikir temannya itu akan melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya bingung, nyatanya lelaki berbadan bongsor itu hanya menuliskan pesan singkat sebagai jawaban. Bibirnya tertarik ke atas, lega, seolah beban yang menumpuk di dadanya luruh bersama jawaban sang kawan.


Aksara menutup buku, mood-nya tiba-tiba saja menghilang padahal tadi banyak sekali ide cerita yang berdesakan menanti untuk dituangkan. Namun, apa boleh buat jika mood hilang menulis pun seolah tanpa rasa. Akhirnya lelaki itu memilih untuk masuk ke dalam rumah.


Lelaki berhidung mancung itu berjalan menuju peraduan setelah sebelumnya mengunci pintu rapat-rapat.


Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti, seolah tertarik magnet besar, dia yang tadi berniat untuk merebahkan tubuh ke peraduan tiba-tiba saja berjalan menuju kotak kayu yang berada di tepi ruangan.


Cukup lama dia berdiri di sana, otak dan hatinya berperang sengit, keduanya memberikan pilihan yang bertolak belakang, antara lupakan atau kembali mengenang. Bayangan wajahnya tampak dingin dari pantulan cermin yang berdiri tegak tak jauh dari tempatnya. Wajah itu, wajah yang dulu selalu tampak riang, kini mengapa tampak berbeda?


Setelah terdiam cukup lama, akhirnya dia memilih mengikuti kata hatinya yang meminta untuk melupakan. Dia bergegas berlalu, kemudian melemparkan tubuh ke ranjang, menjemput mimpi indah dan berharap mimpi itu menjadi kenyataan. Membawanya menuju kebahagiaan—melupakan rasa sepi yang kadang begitu menggerogoti hati.

*

Entah berapa lama lelaki bermata elang itu tertidur, sampai akhirnya dia terbangun begitu mendengar pintu rumahnya digedor oleh seseorang.


Setelah mengumpulkan serpihan nyawanya, dia berjalan limbung menuju pintu depan untuk memastikan siapa yang telah merenggut mimpi indahnya itu.


“Dimas?” ucap Aksara pelan, kemudian memandang sekeliling dengan mata setengah terpejam—sinar mentari menusuk matanya yang masih didekap kantuk.


Seolah paham dengan bahasa tubuh temannya, Dimas langsung membuka suara. “Aku sendiri, gak sama Hesty,” jelasnya dengan tangan terlipat di dada.


Mendengar itu Aksara merasa sedikit terkejut, dia tak menyangka temannya itu bisa menebak isi kepalanya seperti seorang peramal.


“Kamu kenapa sebenarnya?” cecar Dimas melontarkan tanya, wajahnya tampak kebingungan.


Aksara tak menjawab pertanyaan Dimas, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara, dia memilih untuk berjalan menuju ke ruang tamu. Melihat itu sontak saja Dimas membuntut di belakang tuan rumah.


Setelah menjatuhkan tubuh pada kursi kayu berwarna selaras dengan dinding di belakangnya, Dimas kembali mengulang pertanyaan. Sebenarnya dia tahu betul jika Aksara adalah sosok yang introvert. Mereka berteman hampir lima tahun lamanya, hanya saja kali ini dia merasa aneh karena Aksara seolah tidak suka kepada Hesty.


Aksara tersenyum simpul, kepala lelaki itu terlihat menggeleng beberapa kali sebelum menjawab pertanyaan yang kawannya lemparkan.


“Kamu ke sini mau jenguk apa mau nanya aja?” Bukannya menjawab, Aksara malah balik bertanya, membuat Dimas makin penasaran.


“Ya mau jenguk, sekalian nanya juga, abisnya kamu keliatan judes banget sama Hesty, apa ada masalah?”


Aksara kembali mengulum senyum, “jangankan masalah, aku sama dia aja baru kenal.”


“Lantas kenapa sikapmu demikian?”


“Loh memangnya sikapku gimana?” Lagi-lagi Aksara balik bertanya karena dirinya merasa bersikap biasa saja entah kepada Hesty ataupun kepada yang lain.


“Ya ketus, keliatan gak suka gitu. Aku tahu kamu introvert tapi ya gak bagus juga kalau keliatan ketus banget.” Akhirnya Dimas menjabarkan isi kepalanya. Bukan tanya alasan dia berasumsi demikian pasalnya pada saat Hesty memperkenalkan diri, Aksara tampak biasa saja bahkan terlihat tidak senang, ditambah lagi tadi saat dirinya memberi tahu akan datang bersama Hesty temannya itu pun memberikan alasan kalau dirinya sedang kontrol, padahal Dimas tahu betul jikalau dia ada di rumah.


Mendengar penjelasan konyol Dimas, Aksara kembali menggeleng-gelengkan kepala rupanya sampai sejauh itu temannya berasumsi.


“Asumsimu jahat sekali. Hari itu aku udah nggak enak badan sejak dari rumah, kupaksain ngajar, jadi mungkin kurang bergairah juga. Jujur, kalau tadi siang aku memang kurang nyaman kalau dia dateng, aku dan dia baru kenal loh.”


“Iya tahu kalau alasan yang itu makanya aku inisiatif buat datang sendirian pas pulang ngajar,” tutur Dimas menerangkan. “Eh, iya itu parsel buah dari dia,” imbuhnya seraya menunjuk parsel buah berukuran cukup besar yang sejak tadi bertengger di atas meja.


“Oh oke, bilangin makasih, ya.”


“Kok, bilang ke aku, bilang sendiri ke orangnya besok kan katanya kamu ke sekolah.” Kini giliran Dimas yang tersenyum simpul. Entah apa yang ada di pikiran lelaki berkulit sawo matang itu.


Obrolan terus berlanjut, Dimas jua menceritakan jikalau Hesty adalah temannya saat kuliah dulu, mereka berteman cukup dekat hanya saja saat itu Hesty tiba-tiba pindah kampus, sekarang mereka justru dipertemukan kembali setelah memiliki profesi yang sama, di sekolah yang sama, bahkan di lingkungan yang cukup dekat juga.


Tak hanya itu Dimas juga menceritakan segala kepiawaian Hesty serta apa-apa saja organisasi yang wanita manis itu ikuti. Anehnya kali ini Aksara pun seolah terbawa arus, dia begitu menikmati untaian kata yang keluar dari mulut Dimas. Cerita lelaki itu begitu mengalir sampai-sampai menghipnotis sang pendengar.


“Lah , bentar lagi Asar, gak kerasa banget,” ujar Dimas terperanjat, dua bola matanya masih menatap jam yang melingkar di tangan, seakan tidak percaya jikalau dirinya sudah mengobrol cukup lama. “Aku pulang dulu. Semoga lekas sembuh ya, Bro. Kapan-kapan lanjut lagi ceritanya, sepertinya kamu tertarik banget sama cerita si dia,” imbuhnya seraya bangkit dan menepuk bahu Aksara yang tampak salah tingkah.


Sepeninggal Dimas, perhatian Aksara tersita pada parsel buah yang konon diberikan oleh Hesty. Dengan segera lelaki itu membuka plastik pembungkus keranjang, lalu mengambil sepucuk surat yang terselip di dalamnya.


“Tu—tulisan ini?!”


Netra tajam Aksara terbelalak saat melihat tulisan sang pengirim. Sebenarnya tidak ada yang aneh hanya ucapan biasa yang Hesty tulis, tetapi yang membuat Aksara terenyak adalah tulisan Hesty persis sekali dengan tulisan seseorang yang dia kenal di masa lalu.


SepwaL
SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi
Posting Komentar
Kode Iklan Tengah 1
Kode Iklan Tengah 2
Kode Iklan Bawah
Teks Footer