Si Humble yang Ceroboh

SepwaL 8 min read

Aksara meneguk salivanya yang tiba-tiba terasa pahit, di dalam dadanya ada yang berdetak hebat seperti genderang yang sedang ditabuh. Dengan perasaan kikuk dia bergegas menarik tangan Hesty dan membantunya untuk kembali berdiri, untung saja di sekitar perpustakaan siang itu tidak ada satu orang pun.

Di balik rasa sungkannya, Aksara jua merasa sedikit gemas dengan tingkah wanita yang baru dijumpainya. Bagaimana tidak? Ternyata sikap humble serta mimik wajah yang kalem tidak serta merta membuat sikapnya pun demikian, ada sifat ceroboh yang terselip, mungkin sebagai pelengkap.



Tak ingin berlarut-larut dengan pikiran ngawurnya, Aksara bergegas mendorong pintu perpustakaan dan masuk ke dalamnya. Seolah terhipnotis, aroma kertas yang berpadu dengan keheningan terasa amat memikat, dia begitu menyukai hal tersebut.


Berbeda dengan Hesty yang langsung mendatangi  rak-rak buku, Aksara memilih untuk mengistirahatkan tubuh di bangku yang memang disediakan sekolah untuk siswa-siswinya. Lelaki beralis tebal itu tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya, kepalanya juga masih terasa berat, walaupun mungkin tidak separah tadi begitu dirinya berangkat ke sekolah.


Di sisi lain, di belakang rak-rak raksasa yang menyimpan ribuan buku, Hesty terlihat tengah memilah buku-buku bacaan. Mulut wanita berlesung pipi itu terlihat bergumam, sementara tangannya seolah asyik sendiri.


Beberapa menit kemudian, netranya menyipit menatap leka


t-lekat buku yang kini berada tepat di depannya. Selain bersampul menarik, nama sang penulis pun seperti tidak asing di benaknya. Aksara Dwi Putra.


Bola mata Hesty berputar menatap kesana kemari, tampak sekali jikalau dirinya tengah berpikir dalam.  Untuk menjawab pertanyaan yang bercokol di kepalanya, wanita itu pun bergegas membuka lembar belakang buku. Sayang, sang penulis hanya mencantumkan namanya dan secuil kata-kata bijak, tak ada foto ataupun sosial media yang mungkin berisikan kumpulan karya-karyanya.


Karena penasaran Hesty memutuskan untuk membawa serta novel tersebut beserta buku paket dan beberapa buku lainnya.


Setelah menyusun buku-buku pilihannya ke lengan, Hesty segera berjalan menuju tempat di mana Aksara berada.


“Pak, saya sudah selesai mencari buku-buku yang saya butuhkan,” ucap Hesty seraya tersenyum membuat lesung pipit di pipinya tampak kentara.


Aksara yang tengah fokus dengan bukunya sedikit tersentak, refleks lelaki berhidung mancung itu menutup buku dan menyudahi pekerjaannya.


“Baiklah, mari saya bantu bawakan.”


Aksara bangkit dari duduknya, berniat untuk mengambil alih buku-buku yang sudah tersusun di lengan Hesty. Namun, wanita berkerudung cokelat itu malah menolak.


“Tidak apa, Pak, biar saya bawa sendiri, lagian ini tidak terlalu berat,” tolak Hesty ramah. Sebenarnya dia merasa sedikit pegal karena buku-buku yang dibawanya cukup banyak, hanya saja Hesty merasa sungkan karena sejak tadi terus merepotkan Aksara. Belum lagi sifat cerobohnya yang mungkin saja membuat lelaki itu tidak nyaman.


Entahlah, Hesty pun kadang merasa bingung, satu sifat buruknya itu begitu sulit untuk dihilangkan padahal usianya terbilang sudah dewasa. Dia merasa jikalau dirinya sudah berhati-hati, bahkan saat melakukan apa pun dia berusaha untuk sebaik dan sepelan mungkin, tetapi tetap saja.


Hari ini Aksara sudah dua kali memintanya untuk lebih berhati-hati, tentu saja dia tidak ingin lelaki itu kembali memintanya berhati-hati untuk yang kesekian kali, padahal baru sehari saja dia bekerja. Hesty hanya bisa berharap agar sikap cerobohnya itu tidak sampai merugikan orang-orang di sekelilingnya.


“Benarkah?” Aksara mencoba memastikan, satu alisnya terlihat terangkat.


“Tentu saja.” Hesty mengangguk mantap. “Kalau begitu saya duluan ya, Pak Aksara. Terima kasih untuk segala bantuannya.” Setelah menyelesaikan ucapannya Hesty pun beranjak meninggalkan Aksara dan ribuan buku di  belakangnya.


Setelah Hesty pergi, Aksara kembali membuka bukunya, dia kembali menyelesaikan pekerjaan yang beberapa menit lalu tertunda.


Netra tajam lelaki itu menyorot pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 10:45 WIB itu artinya masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum dirinya kembali mengajar. Karena sejak pagi perutnya baru terisi teh hangat dan sebuah roti, dia pun memutuskan untuk menyantap bekal makan siangnya.


Sementara Hesty yang baru saja tiba di ruang guru bergegas menyimpan buku-buku yang baru dibawanya ke atas meja—meja yang mulai hari itu akan menjadi rumah keduanya.


Tangan lentik wanita itu terlihat benar-benar lihai saat melakukan pekerjaan, hingga dalam hitungan menit saja, buku, kalender mini, tempat pensil, dan beberapa benda lainnya sudah bertengger rapi di atas mejanya.


Tepat setelah menyelesaikan pekerjaannya, kepala sekolah dan satu guru lainnya mendatangi Hesty, mereka mengajaknya untuk berkeliling mengenalkan lingkungan sekolah. Ya, Hesty memang belum sempat school tour, selain pagi tadi hujan, dia pun harus mengisi beberapa berkas mengenai kepindahannya.


Sama seperti pengenalan biasanya, selain mengenal denah sekolah, Hesty pun diperkenalkan kepada murid-murid yang akan diajarnya yaitu kelas sebelas. Setelahnya, dia diminta untuk kembali ke kantor membereskan apa-apa saja keperluannya, agar hari Senin nanti semuanya telah siap dan dia sudah bisa memulai proses belajar mengajar.


Hesty merasa lega, selain diterima baik oleh rekan-rekannya di sekolah, dia pun bisa terus bersama dengan ibu bapaknya.


Di perjalanan menuju ke kantor, tiba-tiba langkah Hesty terhenti, matanya seolah terhipnotis pada mading sekolah yang tadi belum sempat dia cermati. Selain peraturan sekolah, pengumuman, dan kegiatan ekstrakurikuler siswa, beberapa karya tulis pun bertengger rapi di papan berbentuk persegi panjang itu.


Hesty benar-benar dibuat kagum pada lukisan-lukisan yang berada di depannya. Lukisan-lukisan itu tampak begitu rapi dan enak dipandang. Satu per satu dia amati dengan saksama, bahkan nama sang pemilik pun tak luput dari perhatiannya.


Hesty jadi teringat dulu sewaktu kecil, dia jua pernah memiliki keinginan untuk menjadi seorang pelukis, sayang cita-citanya itu tidak tercapai karena dirinya memang tidak mahir di bidang tersebut. Tawa kecil terlihat menghias bibirnya, dia merasa geli jika teringat hal konyol tersebut, bagaimana bisa dia menggapai cita-citanya itu sedang menggambarkan pun dia tak bisa. Bisa, hanya saja tak serupa, jauh dari kata indah apalagi memukau.


Di tengah asyiknya mengenang masa lalu, mata Hesty kembali terhipnotis pada selembar buku berisikan beberapa bait puisi.


Rasa kagum pada lukisan-lukisan tadi saja belum hilang, kini dia kembali dibuat kagum pada karya tangan tersebut. Benar-benar dalam dan menyentuh hati, sampai-sampai dia tak sadar jikalau sudah menghabiskan waktu cukup lama di sana.


Oasis rindu seketika terempas

Ketika senyum itu menyapaku

Tanpa perlu alasan pun balasan

Akankah iya atau masih harus menunggu sekian lama?

Vibes tercipta terlalu nyata

Insting pun tak jua menolaknya

Apa ini saatnya?

Namun aku pun tak tahu harus memulai dari mana

Temukah? Atau layang cinta?


Ortodoks waktu mungkin menjawabnya “Aksara Dwi Putra,” gumam Hesty pelan.


Ingatannya langsung tertuju pada novel yang tadi dia temukan di perpustakaan. Bayangan wajah Aksara pun seolah menari di kepalanya.


“Benarkah dia penulisnya?”

SepwaL
SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi
Posting Komentar
Kode Iklan Tengah 1
Kode Iklan Tengah 2
Kode Iklan Bawah
Teks Footer