Part 9 Rumah Tua

"Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapinya."

4 min read

Mentari yang menyingsing di ufuk Timur Makassar menerobos ke sela-sela tirai yang menutupi jendela kamar Riris. Dia mengerjap kemudian meregangkan badan. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, karena sedang berhalangan maka dia bisa leluasa bangun agak siang.


Dengan penuh semangat hari ini dia akan memulai pencarian tentang ayah kandungnya dengan berbekal alamat yang diberikan ayah angkatnya.

Rumah Tua


Riris langsung bangkit untuk mandi dan bersiap. Sementara itu Fadil sudah selesai dengan segala persiapannya, dan kini dia sedang menikmati kopi hitam dan sebatang rokok. Dia juga sudah memesan sarapan untuk mereka berdua.


Setelah sarapan mereka berdua langsung memesan taksi dan menuju ke alamat yang dia dapatkan. 


Setelah sekitar 15 menit perjalanan, mereka sampai di sebuah bangunan tua yang letaknya agak jauh dari pemukiman warga. Dari letak dan alamatnya memang berada di sana, tetapi terlihat sudah lama tidak dihuni.


“Ini beneran di sini?” tanya Riris heran.


Karena mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Riris, sopir taksi langsung menjawab, “Selama saya jadi sopir taksi, memang ini rumahnya, Kak.” 


“Ya udah, kita turun aja ya, Ris,” balas Fadil.


Tanpa ada ucapan lagi, Riris pun membayar taksi yang baru saja mengantarkannya.


“Nanti dijemput nggak, Kak?” tanya sang sopir.


“Boleh, nanti saya telfon,” kata Riris datar.


Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju ke rumah tua yang sepertinya tidak berpenghuni itu.


Riris berdiri di depan sebuah rumah tua yang sudah lapuk, catnya terkelupas dan jendelanya pecah-pecah. Rumput liar dan tanaman merambat di dinding-dindingnya, rumah yang diklaim sebagai milik ayahnya.


Aroma apek dari rumah yang terbengkalai dan membusuk memenuhi lubang hidung Riris saat ia berdiri di depan rumah yang terbengkalai itu. Aroma kayu yang lembap dan jamur bercampur melekat di udara, ditambah dengan aroma tanah dari kayu yang membusuk dan logam yang berkarat.


“Bagaimana?” tanya Fadil yang akhirnya membuka suara setelah beberapa lama menunggu Riris yang sedang memperhatikan rumah itu.


“Apanya yang bagaimana?” Riris membalikkan pertanyaan.


Fadil mendekat lagi ke Riris. “Mau nyoba masuk atau kita pulang?”


“Sudah jauh-jauh? Terus kita pulang? Agak lain ya,” jawab Riris.


“Ya udah ayo coba masuk,” ajak Fadil kemudian memegang handel pintu yang terlihat sudah berkarat.


Derit pintu terasa sangat memekakkan telinga kedua anak manusia itu ketika pintu itu terbuka.


“Kok, haawanya dingin ya?” gumam Riris.


“Nggak apa-apa. Ayo masuk!” ajak Fadil mendahului.


Riris dan Fadil memasuki rumah tua yang terbengkalai itu dan matanya menangkap cat yang mengelupas di dinding dan langit-langit yang runtuh sebagian. Lantainya berdebu dan meja kursi yang ada di ruang tamu dipenuhi sarang laba-laba, memberikan kesan menakutkan dan terbengkalai.


Udara di dalam rumah itu pengap, penuh dengan bau debu dan lumut, aroma tempat yang terlupakan. Perlahan Riris berjalan menuju ke jendela samping dan mencoba membuka tirai lusuh yang menutupi agar ada cahaya masuk.


Riris bisa merasakan udara pengap di bagian belakang tenggorokannya, membuatnya merasa ingin batuk. Ada juga sedikit aroma logam, seperti karat atau pipa-pipa tua.


“Uhuk!” Riris terbatuk sembari mengibaskan tangan di depan wajahnya demi menghalau debu yang beterbangan.


“Kamu nggak apa-apa?” tanya Fadil di sisi lain ruangan yang juga sedang membuka jendela.


“Its oke.”


“Mau coba lihat ke dalem buat cek?” tanya Fadil.


Pertanyaan Fadil hanya dijawab dengan anggukan oleh Riris yang masih menutup hidungnya.


Saat mereka berdua berjalan melewati ruangan-ruangan yang berdebu, Riris dapat mencium bau apek dari perabotan tua dan kayu-kayu yang membusuk. Juga tercium samar-samar aroma lembab, sepertinya rumah itu sudah sangat lama tidak ditempati.


Keheningan hanya dipecahkan oleh suara keduanya dan juga binatang kecil yang sesekali berlari atau kepakan sayap burung yang bersarang di dinding-dinding bobrok.


“Aku cek kamar ini, kamu yang sebelah. Berani kan?” tanya Fadil pada Riris.


“Heh, aku tidak sepenakut itu ya,” ketus Riris yang kemudian masuk ke salah satu ruangan.


Ruangan yang remang-remang itu dipenuhi debu, sarang laba-laba, dan perabotan yang rusak. Dinding-dindingnya mengelupas dan dipenuhi kotoran, sehingga hampir tidak bisa dikenali. Riris hampir tidak bisa melihat meja rias tua yang sudah usang di sudut ruangan. Dia mencoba membuka jendela.


BRAK!


Jendela beserta gawangnya jatuh ke luar rumah, hal itu terdengar juga oleh Fadil. Gegas Fadil menuju ke ruangan Riris.


“RIS!” teriak Fadil khawatir.


Sementara Riris masih berdiri sambil melihat ke arah jendela yang tadi jatuh kemudian menoleh.


“Kamu nggak apa-apa?” tanya Fadil cemas.


“Nggak apa-apa, lebay banget kamu,” jawab Riris acuh tak acuh sambil melihat-lihat apa yang ada di ruangan itu.


Akhirnya Fadil kembali ke ruangannya untuk mencari petunjuk yang mungkin bisa didapatkan.


Sekitar satu jam mereka mencari, tetapi nihil. Akhirnya mereka berdua keluar dari kamar yang mereka selidiki tadi.


Bau anyir menyengat menyambut Riris dan Fadil saat mereka memasuki dapur. Peralatan makan berserakan di atas meja, dan beberapa lemari terbuka lebar. Di sudut dapur, terdapat sebuah buku harian yang tergeletak di atas kompor tua. Riris mengambil buku harian itu dan membukanya. Tulisan tangan yang samar-samar terlihat di halaman pertama. 'Dia harus diselamatkan ... sebelum mereka datang...' tulisannya. Riris dan Fadil saling pandang, jantung mereka berdebar kencang.


“Apa yang kau pikirkan sama dengan yang ada di otakku?” tanya Fadil memastikan.


“Sepertinya iya,” jawab Riris dengan wajah yang sulit diartikan.


Mereka berdua terdiam, tetapi kemudian bergegas mencari sesuatu yang mungkin ada di sana hingga mereka menemukan sebuah pintu yang sedikit terbuka di ujung ruangan. Riris dan Fadil saling berpandangan, lalu perlahan-lahan membuka pintu itu. 


Di dalam ruangan, terdapat sebuah ranjang besar yang ditutupi oleh kelambu. Karena di sana tidak ada jendela yang bisa dibuka akhirnya Riris menyalakan senter dari ponselnya.


Mereka berdua menyisir setiap sudut ruangan. Cahaya senter Riris menyinari sebuah kotak kayu yang tersembunyi di bawah ranjang. Riris mengambil kotak tua itu mengamatinya bersama Fadil dengan seksama. 


Kotak itu terbuat dari kayu jati yang kokoh dan dihiasi ukiran-ukiran rumit. Di bagian depan kotak, terdapat sebuah lubang kecil yang mungkin berfungsi sebagai lubang kunci. Namun, mereka tidak menemukan kunci yang sesuai. 


“Coba cari lagi siapa tau ada kuncinya di kolong ranjang,” usul Fadil.


“Kamu nyari, aku yang nyenterin, ya,” jawab Riris.


Fadil masuk ke kolong ranjang dan mencari kunci siapa tau ada yang tertgeletak di lantai.


“Nggak ada,” jawab Fadil kemudian keluar.


“Buka manual, paksa!” kata Riris antusias.

Posting Komentar