Di Ruang Tunggu Prioritasmu, Aku Hanyalah Arsip Pasif
Aku menatap layar HP yang tergeletak di atas tumpukan berkas Laporan Pertanggungjawaban (LPJ). Di layar itu, ruang obrolan WhatsApp dengan DIA terbuka lebar.
Terakhir aku kirim pesan jam 08.00 pagi. Isinya standar,
mencoba perhatian ala orang PDKT "Semangat dinas paginya,. Jangan lupa
sarapan biar kuat Kerjanya Hehehe."
Sekarang jam 14.00. Balasannya baru masuk lima menit lalu. Isinya? Cuma dua kata: "Iya, makasih."Tanpa emoji. Tanpa balik nanya. Tanpa basa-basi.
Rasanya?
Seperti mengajukan Surat Permohonan Anggaran ke
Kepala Sekolah, tapi cuma ditaruh di ujung meja dan dibilang, "Nanti
saya baca kalau sempat."
Kami baru ketemu Minggu lalu. Pertemuan itu
rasanya seperti Verifikasi Faktual. Semuanya terasa pas. Ngobrol
nyambung, Senyum bareng, tatap-tatapan mata akh.. mana mungkin saya berani. Aku
pikir, "Wah, ini dia. Berkas persyaratannya lengkap."
Tapi ternyata, setelah pertemuan itu, grafiknya turun
drastis.
Di pekerjaanku sebagai Administrasi, sudah terbiasa dengan
kepastian. Kalau ada surat masuk, harus segera dicatat di buku agenda. Kalau
ada disposisi pimpinan, harus segera diteruskan ke yang bersangkutan. Kalau ada
data salah, harus segera divalidasi. Semuanya punya SOP. Semuanya punya alur
yang jelas.
Tapi menghadapi ini, SOP-ku berantakan.
Aku mencoba memaklumi dengan logika Dia perawat. Dia sibuk. Pasiennya banyak. Tangannya steril nggak boleh pegang HP."
Tapi logika itu patah saat aku melihat status WhatsApp-nya Online atau dia sempat bikin Story, tapi chat-ku dibiarkan membusuk berjam-jam. Ini namanya Dry Text. Balasan yang kering, singkat, padat, dan jelas menyiratkan ketidaktertarikan.
Di dunia medis, ada istilah Triage (pemilahan pasien
berdasarkan prioritas).
- Merah: Gawat darurat, harus segera
ditangani.
- Kuning:
Gawat tapi bisa nunggu sebentar.
- Hijau: Tidak gawat, bisa ditunda (pasien
rawat jalan).
- Hitam:
Meninggal.
Sikap dry text DIA ini menegaskan posisiku. Aku bukan
Pasien Merah baginya. Aku bukan prioritas yang harus segera ditangani. Aku cuma
Pasien Hijau. Chat-ku cuma keluhan ringan yang bisa dibalas nanti-nanti
saja kalau dia lagi bosan atau lagi senggang. Atau lebih parah... mungkin
baginya, ini sudah Hitam sebelum sempat dimulai.
Aku mengetik balasan lagi. Menghapus. Mengetik lagi.
"Lagi banyak pasien ya?" (Terlalu kepo). Hapus.
Nanti sore sibuk nggak?" (Terlalu agresif). Hapus.
Akhirnya aku cuma membalas dengan stiker jempol.
Di kantor, aku adalah admin yang mengontrol data. Aku yang
memegang password. Aku yang menentukan surat ini nomor berapa. Aku punya
kendali. Tapi di hadapan DIA, aku cuma berkas yang nasibnya digantung
tanpa SK yang jelas.
Ketemu, lalu diabaikan pelan-pelan slow fade. Ini
seperti surat penting yang hilang terselip di lemari arsip tua. tidak dibuang,
tapi dilupakan begitu saja sampai berdebu.
Jam dinding menunjukkan pukul 16.00. Waktunya Absen
pulang. Aku menutup laptop. Membereskan meja. HP-ku sunyi. Tidak ada
notifikasi.
Sepertinya aku harus mulai menyiapkan mental untuk melakukan
Pengarsipan. Memindahkan nama DIA dari folder "Calon Masa
Depan" ke folder "Arsip Inaktif"
Karena di duniaku, kita harus tahu kapan sebuah permohonan itu Ditolak tanpa Balasan. Nomornya masih ada di kontakku, Namanya perlahan turun ke bawah, tertimbun oleh chat grup kantor, chat tagihan, dan chat grup alumni. Tenggelam secara alami.
Tidak ada drama blokir-blokiran.
Tidak ada perpisahan panjang lebar. Kami hanya... berhenti. Seperti Komputer
yang dicabut kabel power-nya. Mati begitu saja.
Kadang, saat aku lewat di depan tempatnya bekerja, refleks mataku melirik ke sana. Buat apa mampir? Di sana bukan tempatku. Duniaku adalah tumpukan kertas, duniaku adalah data yang pasti. Sementara dia? Dia adalah variabel acak yang tidak pernah bisa ku-rumuskan.
Pertemuan itu sekarang terasa seperti Surat
Salah Alamat. Sempat mampir sebentar, sempat dibaca isinya, tapi akhirnya
dikembalikan ke pengirim karena penerima tidak mengenali si pengirim.
Aku kembali ke meja kerjaku. Membuka laptop. Mengerjakan
laporan bulanan. Hidup berjalan seperti biasa. Sesuai SOP.
Sebagai admin, aku terbiasa memantau pergerakan surat. Aku tahu persis kapan sebuah surat masuk di-input. Aku tahu kapan surat itu diteruskan ke Kepala Sekolah. Aku bisa melacak statusnya: Menunggu Verifikasi, Sedang Proses, atau Selesai.
Di layar monitorku, semuanya transparan. Tidak ada surat
yang hilang tanpa jejak. Kalau ada yang macet, aku tinggal cek log history-nya:
"Oh, mandek di meja Bu KASEK."
Tapi menghadapi DIA, aplikasi canggihku tidak berguna.
Hubungan kami itu ibarat Surat Masuk tanpa Nomor Agenda.
Datang tiba-tiba, sempat dibaca sebentar, tapi tidak pernah diregistrasi ke
dalam sistem.
Setiap kali aku mengirim pesan WhatsApp padanya, insting
adminku bekerja. Aku menunggu status checklist.
- Sent
(Terkirim) = Surat Masuk.
- Delivered
(Masuk Server) = Menunggu Disposisi.
- Read
(Dibaca/Centang Biru) = Sedang Diproses.
Masalahnya, disposisi dari dia selalu Kosong. Tidak
ada instruksi lanjut. Tidak ada balasan "ACC" atau "Tindak
Lanjuti". Pesan-pesanku hanya berakhir sebagai tumpukan data sampah (junk
files) yang memenuhi memori HP-nya.
Aku bisa mengatur ribuan surat dinas agar tertib. Aku bisa
memarahi guru atau staf lain kalau salah format surat. Aku punya kuasa di
aplikasi ini. Tapi di hadapan perawat itu, aku kehilangan hak akses.
Aku sadar, ternyata tombol "Hapus" di
aplikasi persuratan itu fungsinya sama dengan apa yang dia lakukan padaku. Klik
sekali. Konfirmasi. Hilang dari database.
Jadi, inilah aku sekarang. Kembali duduk di depan monitor
admin. Memastikan surat terproses, memastikan undangan rapat terkirim. Sambil
pelan-pelan me-logout paksa perasaanku sendiri.
Karena buat apa jadi Admin kalau surat sendiri tidak pernah
sampai ke tujuan?
Jari-jariku menari lincah di atas keyboard dan mouse. Klik.
Scroll. Klik.
Sebagai Admin aplikasi persuratan, tugasku sore
ini adalah "bersih-bersih". Aku sedang memantau Dashboard
persuratan sekolah yang penuh warna.
- Merah:
Surat Belum Dibaca.
- Kuning:
Surat Belum Disposisi.
- Hijau:
Surat Selesai/Arsip.
Mataku tertuju pada satu baris data imajiner di kepalaku.
Sebuah "surat" yang statusnya menggantung selama sebulan ini. Pengirim:
SP (Admin). Tujuan: DIA (User Eksternal). Perihal: Permohonan
Memulai Hubungan . Status Saat Ini: Pending (Menunggu Respon).
Di sistem aplikasi kantor, kalau ada surat yang menggantung
terlalu lama tanpa tindak lanjut, itu akan menjadi sampah Junk data.
Itu akan memperlambat performa server. Bikin loading jadi lemot.
Dan prinsipku sebagai Admin Server harus tetap bersih dan ngebut. Aku membayangkan "berkas" DIA itu ada di layar monitor. Aku membayangkan tombol-tombol aksi di sebelahnya:
- Resend
(Kirim Ulang/Nanya lagi "Lagi apa?").
- Edit
(Ubah strategi).
- Force
Complete (Paksa Selesai/Tutup Kasus).
Dulu, aku mungkin akan menekan tombol Resend
berkali-kali. Mengemis notifikasi. Tapi hari ini, aku melihat diriku di
pantulan layar monitor. Kemeja berantakan, nametag tergantung di leher, wajah
yang sudah lelah dipermainkan ketidakpastian.
"Aku ini Admin," gumamku pelan. "Aku yang
atur sistem, bukan sistem yang mengaturku."
Maka, di dalam kepalaku, aku menggerakkan kursor ke opsi
nomor 3.
[FORCE COMPLETE]
Klik.
Sebuah dialog imajiner muncul: "Dokumen ini belum
mendapat balasan dari penerima. Apakah Anda yakin ingin menutup paksa transaksi
ini?"
Tanpa ragu, aku menekan tombol [YA / KONFIRMASI].
Loading berputar sebentar... Dan... Selesai.
Warna status berubah dari Kuning (Gantung) menjadi Hijau
(Arsip). Berkas itu hilang dari list "Tugas Saya". Masuk ke
dalam gudang sejarah.
Rasanya? Plong. Seperti melihat notifikasi "Data
Berhasil Disimpan" setelah seharian input data tanpa error.
Aku mematikan monitor, Layar menjadi gelap. Aku mengambil
tas, mematikan Kipas ruangan, dan mengunci pintu ruang TU.
Kunci itu terasa dingin di tanganku. Mulai hari ini, aku
mengunci rapat pintu akses untuk orang-orang yang tidak punya surat tugas
resmi. Tidak ada lagi tamu tanpa janji temu. Tidak ada lagi disposisi liar.
Dia mungkin perawat hebat yang bisa menyelamatkan nyawa.
Tapi aku adalah Admin yang baru saja menyelamatkan diriku sendiri.
Aku berjalan keluar gerbang sekolah. Langit sore Makassar
berwarna jingga. Besok libur. Waktunya refresh otak, bukan refresh
chat room yang kosong.
Kamu sibuk menyelamatkan nyawa orang lain di ruang IGD,
sampai kamu lupa ada satu orang di ruang tunggu yang perlahan 'mati' karena
bosan menunggu giliran dipanggil. Tidak apa-apa. Aku sadar, prioritasku adalah
merapikan hidupku, bukan mengemis waktumu."
Diagnosanya sederhana: Kita gagal bukan karena takdir, tapi
karena kamu menganggapku cuma pasien rawat jalan yang bisa datang dan
pergi sesukamu. Sayangnya, aku sudah pulang paksa.
Aku berhenti bukan karena lelah mengejar, tapi karena sadar aku sedang berlari di treadmill,keluar keringat banyak, capek setengah mati, tapi tidak kemana-mana. Terima kasih sudah mengajarkan bahwa berjuang sendirian itu namanya bukan cinta, tapi uji nyali.
