Di Balik Sesal di Ujung Waktu : Ketika Hidup Tidak Memiliki Tombol CTRL+Z
Seringkali, saya berharap hidup ini memiliki Command Line Interface (CLI) seperti layar komputer yang biasa saya hadapi. Di sana, jika saya salah mengetik kode, saya tinggal menekan Backspace.
Jika sistem yang saya bangun mengalami kegagalan fatal, saya cukup memuat ulang Backup dari hari sebelumnya, atau menekan tombol sakti CTRL+Z untuk membatalkan kesalahan.
Dunia digital itu pemaaf. Dunia nyata? Tidak sama sekali.
Di dunia nyata, hidup berjalan dengan sistem Real-Time Processing yang brutal. Setiap kata yang terucap, setiap sikap dingin yang kita berikan, dan setiap pengabaian yang kita lakukan, langsung tersimpan permanen ke dalam database hati orang lain. Tidak ada fitur Undo. Tidak ada Rollback
Kesadaran inilah yang menjadi pondasi utama dari novel ketiga yang sedang saya rampungkan "Sesal di Ujung Waktu".
Inspirasi buku ini datang dari sebuah anomali yang saya (dan mungkin banyak dari kalian) alami. Kita hidup di era di mana koneksi internet semakin cepat, namun koneksi antar manusia justru semakin lambat dan penuh gangguan sinyal.
Pernahkah kalian mengalami fase di mana segalanya terasa seperti koneksi broadband kecepatan tinggi?
Chat mengalir deras, tawa berbalas tawa, dan rasanya kita sudah menemukan frekuensi yang tepat. Kita menyebutnya fase Development yang sempurna.
Namun, ketika masuk ke fase Deployment,saat kita bertemu tatap muka atau hubungan mulai serius tiba-tiba terjadi bottleneck.
Sikapnya berubah. Balasan pesan yang tadinya paragraf panjang, kini menyusut menjadi satu-dua kata. Dry text. Dingin. Kaku.
Anehnya, dia tidak benar-benar pergi. Dia masih ada di sana. Dia menjadi penonton setia setiap Instagram Story atau status WhatsApp saya. Di dunia psikologi, ini disebut Orbiting mengelilingi hidup kita tanpa pernah benar-benar mendarat.
Bagi saya yang berlatar belakang teknis, perilaku ini seperti mengirimkan sinyal Ping ke server berulang kali, hanya untuk memastikan servernya masih hidup, tapi tidak pernah mengirimkan paket data perasaan apa pun. Itu membebani bandwidth emosi, melelahkan, dan pada akhirnya sia-sia.
Dalam Sesal di Ujung Waktu, saya membedah anatomi penyesalan yang seringkali bermula dari satu hal kecil Bernama EGO
Kita sering menunda membalas kehangatan seseorang dengan alasan tarik ulur atau jual mahal. Kita memasang Firewall berlapis dengan dalih melindungi diri, padahal sebenarnya kita sedang memblokir akses kebahagiaan kita sendiri.
Kita berpikir, "Ah, dia pasti masih akan menunggu besok. Dia kan suka sama aku."
Itulah bug terbesar dalam logika manusia. Kita mengira kesabaran orang lain adalah sumber daya yang tak terbatas.Padahal, hati manusia memiliki batas waktu tunggu (Request Time Out).
Ketika seseorang yang tulus akhirnya lelah mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, dia tidak akan mendobrak. Dia akan berbalik arah, pergi dengan diam, dan membawa serta seluruh kehangatan yang dulu dia tawarkan.
Buku ketiga ini berbeda dengan dua karya saya sebelumnya. Jika sebelumnya saya mungkin menulis tentang indahnya pertemuan, kali ini saya menulis tentang pahitnya terlambat sadar.
Saya menulis ini untuk mereka yang saat ini sedang merasa "aman" di atas penderitaan orang lain yang menunggu.
Saya menulis ini sebagai peringatan bahwa waktu adalah hakim yang paling kejam.
Dia tidak menerima banding.
Dia tidak menerima sogokan.
Dia hanya akan menyisakan ruang kosong bernama PENYESALAN.
Seperti jam pasir yang pecah, waktu yang sudah tercecer tidak bisa kita pungut kembali butir demi butir.
M E N U J U 2026
Saat ini, naskah Sesal di Ujung Waktu sedang dalam tahap penyempurnaan akhir. Setiap bab-nya saya tulis dengan emosi yang mendalam, terinspirasi dari potongan-potongan kisah nyata yang mungkin juga relate dengan hidup kalian.
Terutama di Bab 14 Peduli Berbalut Dingin dan Bab 17 Ego yang Memisahkan, saya menumpahkan segala keresahan tentang komunikasi yang gagal diterjemahkan.
Bagi kalian yang sedang menunggu seseorang peka, Bersabarlah, atau pergilah jika batas waktumu habis.
Bagi kalian yang sedang menyia-nyiakan seseorang Bacalah buku ini nanti, sebelum kisahmu sendiri yang menjadi epilognya.
Sampai jumpa di peluncuran awal tahun 2026.
Pernahkah kamu menyesal karena telat membalas perasaan seseorang?
Ceritakan di kolom komentar."

