Tentangnya

SepwaL 9 min read

Bak patung yang di-cor langsung di tempatnya, Aksara terdiam seribu bahasa, badannya membeku, tetapi jantungnya berdetak cepat, ingatannya seolah ditarik paksa ke masa silam—masa di mana pertama kalinya dia merasakan patah hati, terluka, bahkan tidak ingin lagi mengenal yang namanya cinta.


Tak pernah terbayang di pikiran Aksara jika cinta yang begitu besar, kasih yang tiada tara, serta kepercayaan yang seluas samudera justru menciptakan luka paling besar nan mengerikan.


Pepatah mengatakan; “cinta yang terlalu besar sering menjadi asal mula patah hati.” Aksara setuju dengan pepatah tersebut, dia benar-benar merasakannya. Dicintai, setelahnya ditinggalkan tanpa kabar. Memilukan bukan?


Pernah terlintas di benaknya jika dia terlalu melampaui batas kala bermain perasaan. Namun, hati dan perasaan tidak bisa dia atur layaknya permainan. Andai bisa, dia pun tak ingin berlarut dalam kesedihan. Dia ingin hidup tenang dan menerima semua yang telah berlalu, kemudian memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu.


Tubuh yang masih terasa kaku itu dia paksa bangkit, menantang kenangan yang masih menahan. Raga tanpa daya itu pun akhirnya berjalan menuju kotak kayu yang siang tadi berhasil dia abaikan. Kini, benda mati tersebut seolah kembali melambai-lambai meminta untuk dikenang, dan Aksara kalah.


Kotak kayu tanpa kunci itu pun terbuka sempurna—kotak berisikan semua kenangan silam bersama mantan kekasihnya. Mantan? Entahlah! Apakah bisa dikatakan demikian? Bahkan di antara keduanya tidak ada kata perpisahan sebelum semesta benar-benar merenggangkan.


Buku diari, jaket, album foto, kalung berbundel hati, gantungan kunci,  dan beberapa benda lainnya Aksara sentuh penuh kehati-hatian. Debu-debu halus yang menempel, dia usap perlahan menggunakan jemarinya. Ada rasa tak rela saat benda-benda yang dia simpan bertahun-tahun itu ternoda oleh debu-debu yang tidak bisa dia halau sepenuhnya.


Tangan kokoh itu meraih diari usang berwarna merah muda bersampul fotonya dengan seorang wanita berambut ikal, kemudian membukanya perlahan. Pada lembar pertama, sebuah potret usang kembali menyambutnya. Foto berukuran 10×15cm itu memperlihatkan remaja lelaki dan perempuan yang tengah berada di taman, tawa riang menghiasi keduanya, begitu alami dan tanpa beban.


Tanpa sadar seulah senyum merekah di bibir Aksara seolah bahagia saat itu masih bisa dirasakannya saat ini. Lembar kedua berisi seuntai tulisan tangan pujaan hatinya, pada baris bagian atas wanita itu menulis tanggal dan tempat di mana mereka mulai menjalin kasih, setelahnya sebutan sayang mulai menghiasi. Ah, Aksara kian tenggelam dalam kenangan silam.


Di tengah lamunan, tiba-tiba saja lelaki berhidung mancung itu kembali teringat dengan sepucuk surat yang tadi Hesty berikan, dengan langkah cepat dia berjalan ke ruang tamu dengan diari usang di genggamannya.


Benar! Dugaan Aksara tidak meleset sedikit pun, tulisan mantan kekasihnya dan tulisan Hesty sama persis.


Kepala lelaki itu menggeleng beberapa kali seolah tengah mengusir pikiran-pikiran aneh yang menyerbu kepalanya tiba-tiba. Bagaimana mungkin?


Benarkah di dunia ini ada yang namanya kebetulan?

*

Pagi kembali menyapa membawa sisa kesejukan dari hujan semalam, aroma tanah basah pun ikut menyelusup ke rongga dada. Di bawah jendela daun-daun terlihat masih menunduk—menahan sisa titik air, sementara di ujung timur sang surya terlihat malu-malu menampakkan diri.


Pagi ini Aksara bangun kesiangan, alarm yang selalu dia setel di ponselnya seolah tak berpengaruh, kantuk begitu menguasainya, padahal beberapa hari terakhir dia istirahat total, tetapi tetap saja. Jangankan menyiapkan bekal makan siang, sarapan saja tidak sempat.


Setelah memanaskan motornya yang sudah beberapa hari tidak dipakai, lelaki beralis tebal itu pun menunggangi kuda besinya—meluncur membelah jalanan basah yang masih menyimpan aroma hujan.


Kali ini semesta benar-benar tidak memihak, setelah alam membuainya erat dalam dekapan, perjalanannya pun kembali mendapat masalah, ban motor Aksara pecah.


“Astaga! Ada-ada saja,” runtuk Aksara begitu kesal. “Bengkel mana coba yang udah buka jam segini?” imbuhnya seraya mendorong motor,  langkahnya berat menapaki jalanan yang terlihat masih basah.


Sekitar sepuluh menit berjalan kaki, akhirnya dia menemukan bengkel yang sudah buka di seberang jalan. Syukurlah, itu artinya dirinya tidak perlu mendorong kendaraannya lebih jauh lagi. Dengan langkah cepat dia pun menyeberang menghampiri bengkel yang setengah pintunya masih tertutup—meminta bantuan agar motornya bisa kembali digunakan secepatnya.


*

Begitu memasuki gerbang sekolah, canda tawa terdengar riuh menikam gendang telinga, suara yang selama tiga hari terakhir tidak Aksara dengar. Bibir lelaki itu refleks tertarik ke atas membentuk lengkungan layaknya bulan sabit.


Sepanjang jalan menuju ruang guru, murid-murid menyalami seraya menanyakan kabarnya. Beberapa siswi perempuan bahkan tak sungkan menyebut rindu belajar dengannya. Sontak tawanya meledak membuat gigi rapinya tampak memesona.


Karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai, Aksara bergegas melangkahkan kaki menuju ruang guru untuk menyimpan tas—meninggalkan beberapa murid yang masih meneriaki namanya.


Sesampainya di ruang guru, lelaki berbadan tegap itu kembali disambangi oleh rekan-rekannya, sama seperti tadi rekan-rekannya pun menanyakan hal yang sama, mereka menanyakan keadaannya serta meminta maaf karena tidak bisa menjenguk ke rumah.


Dalam keadaan demikian Aksara merasa disayangi dan dihargai seolah ruang sepi dalam hatinya disentuh lembut oleh kehangatan, tentu saja dia merasa bahagia, setidaknya masih ada alasan untuk terus bertahan walaupun sampai detik itu dia belum tahu jelas kemana tujuan hidupnya.


Setelah bertegur sapa dan saling menanyakan kabar satu sama lain, Aksara menarik diri pamit ke kelas pun dengan guru-guru yang lain yang akan mengajar di jam pertama.


Sorak-sorai, suitan, teriakan, menyambut Aksara begitu masuk ke dalam kelas. Anak-anak remaja tanggung itu terlihat begitu antusias menyambut kedatangannya.


“Bapak, akhirnya Bapak ngajar lagi. Uhuy!”

“Pak ada tugas loh, Pak!”

“Bapak sakit apa? Putus cintakah?”


Aksara menjatuhkan bobotnya ke kursi seraya mengulum senyum. “Apa itu putus cinta? Bapak tidak mengenalnya.”


Mendengar jawaban Aksara suasana kelas makin ricuh, seperti biasa siswa laki-laki terlihat memukul-mukul bangku sembari bersiul-siul tak jelas.


“Tidak usah banyak bicara, sekarang kumpulkan tugas kalian. Yang belum mengerjakan silakan maju ke depan sambil angkat satu kaki!”


Suasana riuh yang beberapa detik lalu memekakkan telinga, kini mulai berkurang kekuatannya, Aksara paham betul apa yang telah terjadi pasti di antara mereka ada yang belum mengerjakan tugasnya. Bukan rahasia umum lagi di kalangan para guru.


Mungkin karena terlalu menjiwai pekerjaannya, tak terasa satu jam telah berlalu, itu artinya Aksara harus beralih ke kelas lain.


Saat pergantian jam, Aksara membawa dua karya fiksi milik muridnya untuk dipajang di mading sekolah, seperti yang sudah dia janjikan di minggu sebelumnya.


Namun, langkah pemuda itu tiba-tiba terhenti karena di hadapan benda raksasa berbentuk persegi panjang itu berdiri seorang wanita. Aksara memilih diam di tempatnya mengamati wanita berkerudung panjang itu penuh tanya, hingga di menit selanjutnya wanita itu menoleh tepat kepada Aksara. Untuk beberapa saat netra keduanya pun saling bertatapan dalam diam.


Sebenarnya Aksara hendak mendekat kemudian mengucap terima kasih untuk buah tangan yang Hesty berikan kemarin, tetapi entah mengapa perempuan manis itu tiba-tiba saja pergi setelah sebelumnya tersenyum samar. Mungkinkan dia merasa tersinggung atas penolakannya kemarin?


Akhirnya dengan langkah tak keruan Aksara berjalan ke arah mading dan menempelkan dua karya muridnya serta satu tulisan tangannya yang semalam dia ciptakan.


“Kau umpama fajar yang menyingsing di pagi hari, singgahmu hanya sementara memberikan kehangatan, lantas menghilang tanpa pamitan. Padahal kau tahu betul jikalau hati ini rapuh dan tidak mudah melupa, lantas mengapa kau tetap melakukannya?


Sungguh, kepergianmu membuat lubang menganga di dada yang tak bisa kutambal dengan waktu lama.” Aksara.

SepwaL
SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi
Posting Komentar
Kode Iklan Tengah 1
Kode Iklan Tengah 2
Kode Iklan Bawah
Teks Footer