Tentangnya
Bak patung yang di-cor langsung di tempatnya, Aksara terdiam seribu bahasa, badannya membeku, tetapi jantungnya berdetak cepat, ingatannya seolah ditarik paksa ke masa silam—masa di mana pertama kalinya dia merasakan patah hati, terluka, bahkan tidak ingin lagi mengenal yang namanya cinta.
Tak
pernah terbayang di pikiran Aksara jika cinta yang begitu besar, kasih yang
tiada tara, serta kepercayaan yang seluas samudera justru menciptakan luka
paling besar nan mengerikan.
Pepatah mengatakan; “cinta yang terlalu besar sering menjadi asal mula patah hati.” Aksara setuju dengan pepatah tersebut, dia benar-benar merasakannya. Dicintai, setelahnya ditinggalkan tanpa kabar. Memilukan bukan?
Pernah
terlintas di benaknya jika dia terlalu melampaui batas kala bermain perasaan.
Namun, hati dan perasaan tidak bisa dia atur layaknya permainan. Andai bisa,
dia pun tak ingin berlarut dalam kesedihan. Dia ingin hidup tenang dan menerima
semua yang telah berlalu, kemudian memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa
lalu.
Tubuh
yang masih terasa kaku itu dia paksa bangkit, menantang kenangan yang masih
menahan. Raga tanpa daya itu pun akhirnya berjalan menuju kotak kayu yang siang
tadi berhasil dia abaikan. Kini, benda mati tersebut seolah kembali
melambai-lambai meminta untuk dikenang, dan Aksara kalah.
Kotak
kayu tanpa kunci itu pun terbuka sempurna—kotak berisikan semua kenangan silam
bersama mantan kekasihnya. Mantan? Entahlah! Apakah bisa dikatakan demikian?
Bahkan di antara keduanya tidak ada kata perpisahan sebelum semesta benar-benar
merenggangkan.
Buku
diari, jaket, album foto, kalung berbundel hati, gantungan kunci, dan beberapa benda lainnya Aksara sentuh
penuh kehati-hatian. Debu-debu halus yang menempel, dia usap perlahan
menggunakan jemarinya. Ada rasa tak rela saat benda-benda yang dia simpan
bertahun-tahun itu ternoda oleh debu-debu yang tidak bisa dia halau sepenuhnya.
Tangan
kokoh itu meraih diari usang berwarna merah muda bersampul fotonya dengan
seorang wanita berambut ikal, kemudian membukanya perlahan. Pada lembar
pertama, sebuah potret usang kembali menyambutnya. Foto berukuran 10×15cm itu
memperlihatkan remaja lelaki dan perempuan yang tengah berada di taman, tawa
riang menghiasi keduanya, begitu alami dan tanpa beban.
Tanpa
sadar seulah senyum merekah di bibir Aksara seolah bahagia saat itu masih bisa
dirasakannya saat ini. Lembar kedua berisi seuntai tulisan tangan pujaan
hatinya, pada baris bagian atas wanita itu menulis tanggal dan tempat di mana
mereka mulai menjalin kasih, setelahnya sebutan sayang mulai menghiasi. Ah,
Aksara kian tenggelam dalam kenangan silam.
Di
tengah lamunan, tiba-tiba saja lelaki berhidung mancung itu kembali teringat
dengan sepucuk surat yang tadi Hesty berikan, dengan langkah cepat dia berjalan
ke ruang tamu dengan diari usang di genggamannya.
Benar!
Dugaan Aksara tidak meleset sedikit pun, tulisan mantan kekasihnya dan tulisan
Hesty sama persis.
Kepala lelaki itu
menggeleng beberapa kali seolah tengah mengusir pikiran-pikiran aneh yang
menyerbu kepalanya tiba-tiba. Bagaimana mungkin?
Benarkah di dunia ini
ada yang namanya kebetulan?
*
Pagi
kembali menyapa membawa sisa kesejukan dari hujan semalam, aroma tanah basah
pun ikut menyelusup ke rongga dada. Di bawah jendela daun-daun terlihat masih
menunduk—menahan sisa titik air, sementara di ujung timur sang surya terlihat
malu-malu menampakkan diri.
Pagi
ini Aksara bangun kesiangan, alarm yang selalu dia setel di ponselnya seolah
tak berpengaruh, kantuk begitu menguasainya, padahal beberapa hari terakhir dia
istirahat total, tetapi tetap saja. Jangankan menyiapkan bekal makan siang,
sarapan saja tidak sempat.
Setelah
memanaskan motornya yang sudah beberapa hari tidak dipakai, lelaki beralis
tebal itu pun menunggangi kuda besinya—meluncur membelah jalanan basah yang
masih menyimpan aroma hujan.
Kali
ini semesta benar-benar tidak memihak, setelah alam membuainya erat dalam
dekapan, perjalanannya pun kembali mendapat masalah, ban motor Aksara pecah.
“Astaga!
Ada-ada saja,” runtuk Aksara begitu kesal. “Bengkel mana coba yang udah buka
jam segini?” imbuhnya seraya mendorong motor,
langkahnya berat menapaki jalanan yang terlihat masih basah.
Sekitar
sepuluh menit berjalan kaki, akhirnya dia menemukan bengkel yang sudah buka di
seberang jalan. Syukurlah, itu artinya dirinya tidak perlu mendorong
kendaraannya lebih jauh lagi. Dengan langkah cepat dia pun menyeberang
menghampiri bengkel yang setengah pintunya masih tertutup—meminta bantuan agar
motornya bisa kembali digunakan secepatnya.
*
Begitu
memasuki gerbang sekolah, canda tawa terdengar riuh menikam gendang telinga,
suara yang selama tiga hari terakhir tidak Aksara dengar. Bibir lelaki itu
refleks tertarik ke atas membentuk lengkungan layaknya bulan sabit.
Sepanjang
jalan menuju ruang guru, murid-murid menyalami seraya menanyakan kabarnya.
Beberapa siswi perempuan bahkan tak sungkan menyebut rindu belajar dengannya.
Sontak tawanya meledak membuat gigi rapinya tampak memesona.
Karena
sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai, Aksara bergegas melangkahkan kaki
menuju ruang guru untuk menyimpan tas—meninggalkan beberapa murid yang masih
meneriaki namanya.
Sesampainya
di ruang guru, lelaki berbadan tegap itu kembali disambangi oleh
rekan-rekannya, sama seperti tadi rekan-rekannya pun menanyakan hal yang sama,
mereka menanyakan keadaannya serta meminta maaf karena tidak bisa menjenguk ke
rumah.
Dalam
keadaan demikian Aksara merasa disayangi dan dihargai seolah ruang sepi dalam
hatinya disentuh lembut oleh kehangatan, tentu saja dia merasa bahagia,
setidaknya masih ada alasan untuk terus bertahan walaupun sampai detik itu dia
belum tahu jelas kemana tujuan hidupnya.
Setelah
bertegur sapa dan saling menanyakan kabar satu sama lain, Aksara menarik diri
pamit ke kelas pun dengan guru-guru yang lain yang akan mengajar di jam
pertama.
Sorak-sorai,
suitan, teriakan, menyambut Aksara begitu masuk ke dalam kelas. Anak-anak
remaja tanggung itu terlihat begitu antusias menyambut kedatangannya.
“Bapak,
akhirnya Bapak ngajar lagi. Uhuy!”
“Pak
ada tugas loh, Pak!”
“Bapak
sakit apa? Putus cintakah?”
Aksara
menjatuhkan bobotnya ke kursi seraya mengulum senyum. “Apa itu putus cinta?
Bapak tidak mengenalnya.”
Mendengar
jawaban Aksara suasana kelas makin ricuh, seperti biasa siswa laki-laki
terlihat memukul-mukul bangku sembari bersiul-siul tak jelas.
“Tidak
usah banyak bicara, sekarang kumpulkan tugas kalian. Yang belum mengerjakan
silakan maju ke depan sambil angkat satu kaki!”
Suasana
riuh yang beberapa detik lalu memekakkan telinga, kini mulai berkurang
kekuatannya, Aksara paham betul apa yang telah terjadi pasti di antara mereka
ada yang belum mengerjakan tugasnya. Bukan rahasia umum lagi di kalangan para
guru.
Mungkin
karena terlalu menjiwai pekerjaannya, tak terasa satu jam telah berlalu, itu
artinya Aksara harus beralih ke kelas lain.
Saat
pergantian jam, Aksara membawa dua karya fiksi milik muridnya untuk dipajang di
mading sekolah, seperti yang sudah dia janjikan di minggu sebelumnya.
Namun,
langkah pemuda itu tiba-tiba terhenti karena di hadapan benda raksasa berbentuk
persegi panjang itu berdiri seorang wanita. Aksara memilih diam di tempatnya
mengamati wanita berkerudung panjang itu penuh tanya, hingga di menit
selanjutnya wanita itu menoleh tepat kepada Aksara. Untuk beberapa saat netra
keduanya pun saling bertatapan dalam diam.
Sebenarnya
Aksara hendak mendekat kemudian mengucap terima kasih untuk buah tangan yang
Hesty berikan kemarin, tetapi entah mengapa perempuan manis itu tiba-tiba saja
pergi setelah sebelumnya tersenyum samar. Mungkinkan dia merasa tersinggung
atas penolakannya kemarin?
Akhirnya
dengan langkah tak keruan Aksara berjalan ke arah mading dan menempelkan dua
karya muridnya serta satu tulisan tangannya yang semalam dia ciptakan.
“Kau umpama fajar yang
menyingsing di pagi hari, singgahmu hanya sementara memberikan kehangatan,
lantas menghilang tanpa pamitan. Padahal kau tahu betul jikalau hati ini rapuh
dan tidak mudah melupa, lantas mengapa kau tetap melakukannya?
Sungguh,
kepergianmu membuat lubang menganga di dada yang tak bisa kutambal dengan waktu
lama.” Aksara.
.png)