Wanita Dari Masa Lalu
Ting !!... Sebuah pesan masuk ke handphone Aksara membuat layar benda pipih tersebut menyala. Aksara abai, dirinya masih fokus menuangkan segala ide yang ada di kepalanya pada buku. Ya, buku.
Lelaki itu memang lebih menyukai menulis di buku daripada laptop atau ponselnya, dia merasa lebih leluasa pun mendalami ceritanya. Aroma kertas disertai gesekan pena seolah membuat emosinya tertuang langsung. Setelah semuanya selesai, barulah dia menyalin ceritanya pada laptop.
Fokus
Aksara kembali terganggu saat ponselnya kembali berdering, akhirnya dia
memutuskan untuk membuka pesan yang ternyata dari rekannya di sekolah.
[Istirahat,
kami ke rumahmu, ya.]
Singkat dan padat, tetapi sukses membuat kepala Aksara berdenyut.
Setelah
mengatur napasnya beberapa saat, lelaki itu pun mulai mengetik balasan.
[Kami
siapa?]
[Mungkin
aku dan Hesty, kepala sekolah sedang ada urusan di luar.]
Melihat
balasan dari temannya yang baru saja sampai, mata Aksara membulat sempurna,
otot-otot di tubuhnya serasa kaku. Bagaimana mungkin rekannya itu akan datang
bersama Hesty—seseorang yang baru ditemuinya satu kali.
[Maaf
ya, Pak bukan nolak, aku lagi kontrol di klinik nih,] balasnya cepat dengan rasa
sungkan yang tak tersampaikan lewat kata.
[Aku
sehat kok, besok juga ke sekolah, nggak usah dijenguk segala, ngerepotin.] Aksara kembali mengirimkan
pesan sebelum lawan bicaranya sempat memberikan balasan.
Di
seberang sana Dimas terlihat mengerutkan kening, sampai akhirnya dia tersenyum
tipis dan mengirimkan balasan singkat.
[Oke.]
Aksara
bernapas lega begitu melihat balasan yang Dimas kirimkan. Dia pikir temannya
itu akan melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya bingung, nyatanya
lelaki berbadan bongsor itu hanya menuliskan pesan singkat sebagai jawaban.
Bibirnya tertarik ke atas, lega, seolah beban yang menumpuk di dadanya luruh
bersama jawaban sang kawan.
Aksara
menutup buku, mood-nya tiba-tiba saja menghilang padahal tadi banyak sekali ide
cerita yang berdesakan menanti untuk dituangkan. Namun, apa boleh buat jika
mood hilang menulis pun seolah tanpa rasa. Akhirnya lelaki itu memilih untuk
masuk ke dalam rumah.
Lelaki
berhidung mancung itu berjalan menuju peraduan setelah sebelumnya mengunci
pintu rapat-rapat.
Namun,
langkahnya tiba-tiba terhenti, seolah tertarik magnet besar, dia yang tadi berniat
untuk merebahkan tubuh ke peraduan tiba-tiba saja berjalan menuju kotak kayu
yang berada di tepi ruangan.
Cukup
lama dia berdiri di sana, otak dan hatinya berperang sengit, keduanya
memberikan pilihan yang bertolak belakang, antara lupakan atau kembali
mengenang. Bayangan wajahnya tampak dingin dari pantulan cermin yang berdiri
tegak tak jauh dari tempatnya. Wajah itu, wajah yang dulu selalu tampak riang,
kini mengapa tampak berbeda?
Setelah
terdiam cukup lama, akhirnya dia memilih mengikuti kata hatinya yang meminta
untuk melupakan. Dia bergegas berlalu, kemudian melemparkan tubuh ke ranjang,
menjemput mimpi indah dan berharap mimpi itu menjadi kenyataan. Membawanya
menuju kebahagiaan—melupakan rasa sepi yang kadang begitu menggerogoti hati.
*
Entah
berapa lama lelaki bermata elang itu tertidur, sampai akhirnya dia terbangun
begitu mendengar pintu rumahnya digedor oleh seseorang.
Setelah
mengumpulkan serpihan nyawanya, dia berjalan limbung menuju pintu depan untuk
memastikan siapa yang telah merenggut mimpi indahnya itu.
“Dimas?”
ucap Aksara pelan, kemudian memandang sekeliling dengan mata setengah
terpejam—sinar mentari menusuk matanya yang masih didekap kantuk.
Seolah
paham dengan bahasa tubuh temannya, Dimas langsung membuka suara. “Aku sendiri,
gak sama Hesty,” jelasnya dengan tangan terlipat di dada.
Mendengar
itu Aksara merasa sedikit terkejut, dia tak menyangka temannya itu bisa menebak
isi kepalanya seperti seorang peramal.
“Kamu
kenapa sebenarnya?” cecar Dimas melontarkan tanya, wajahnya tampak kebingungan.
Aksara
tak menjawab pertanyaan Dimas, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara,
dia memilih untuk berjalan menuju ke ruang tamu. Melihat itu sontak saja Dimas
membuntut di belakang tuan rumah.
Setelah
menjatuhkan tubuh pada kursi kayu berwarna selaras dengan dinding di
belakangnya, Dimas kembali mengulang pertanyaan. Sebenarnya dia tahu betul jika
Aksara adalah sosok yang introvert. Mereka berteman hampir lima tahun lamanya,
hanya saja kali ini dia merasa aneh karena Aksara seolah tidak suka kepada
Hesty.
Aksara
tersenyum simpul, kepala lelaki itu terlihat menggeleng beberapa kali sebelum
menjawab pertanyaan yang kawannya lemparkan.
“Kamu
ke sini mau jenguk apa mau nanya aja?” Bukannya menjawab, Aksara malah balik
bertanya, membuat Dimas makin penasaran.
“Ya
mau jenguk, sekalian nanya juga, abisnya kamu keliatan judes banget sama Hesty,
apa ada masalah?”
Aksara
kembali mengulum senyum, “jangankan masalah, aku sama dia aja baru kenal.”
“Lantas
kenapa sikapmu demikian?”
“Loh
memangnya sikapku gimana?” Lagi-lagi Aksara balik bertanya karena dirinya
merasa bersikap biasa saja entah kepada Hesty ataupun kepada yang lain.
“Ya
ketus, keliatan gak suka gitu. Aku tahu kamu introvert tapi ya gak bagus juga
kalau keliatan ketus banget.” Akhirnya Dimas menjabarkan isi kepalanya. Bukan
tanya alasan dia berasumsi demikian pasalnya pada saat Hesty memperkenalkan
diri, Aksara tampak biasa saja bahkan terlihat tidak senang, ditambah lagi tadi
saat dirinya memberi tahu akan datang bersama Hesty temannya itu pun memberikan
alasan kalau dirinya sedang kontrol, padahal Dimas tahu betul jikalau dia ada
di rumah.
Mendengar
penjelasan konyol Dimas, Aksara kembali menggeleng-gelengkan kepala rupanya
sampai sejauh itu temannya berasumsi.
“Asumsimu
jahat sekali. Hari itu aku udah nggak enak badan sejak dari rumah, kupaksain
ngajar, jadi mungkin kurang bergairah juga. Jujur, kalau tadi siang aku memang
kurang nyaman kalau dia dateng, aku dan dia baru kenal loh.”
“Iya
tahu kalau alasan yang itu makanya aku inisiatif buat datang sendirian pas
pulang ngajar,” tutur Dimas menerangkan. “Eh, iya itu parsel buah dari dia,”
imbuhnya seraya menunjuk parsel buah berukuran cukup besar yang sejak tadi
bertengger di atas meja.
“Oh
oke, bilangin makasih, ya.”
“Kok,
bilang ke aku, bilang sendiri ke orangnya besok kan katanya kamu ke sekolah.”
Kini giliran Dimas yang tersenyum simpul. Entah apa yang ada di pikiran lelaki
berkulit sawo matang itu.
Obrolan
terus berlanjut, Dimas jua menceritakan jikalau Hesty adalah temannya saat
kuliah dulu, mereka berteman cukup dekat hanya saja saat itu Hesty tiba-tiba
pindah kampus, sekarang mereka justru dipertemukan kembali setelah memiliki profesi
yang sama, di sekolah yang sama, bahkan di lingkungan yang cukup dekat juga.
Tak
hanya itu Dimas juga menceritakan segala kepiawaian Hesty serta apa-apa saja
organisasi yang wanita manis itu ikuti. Anehnya kali ini Aksara pun seolah
terbawa arus, dia begitu menikmati untaian kata yang keluar dari mulut Dimas.
Cerita lelaki itu begitu mengalir sampai-sampai menghipnotis sang pendengar.
“Lah
, bentar lagi Asar, gak kerasa banget,” ujar Dimas terperanjat, dua bola
matanya masih menatap jam yang melingkar di tangan, seakan tidak percaya
jikalau dirinya sudah mengobrol cukup lama. “Aku pulang dulu. Semoga lekas
sembuh ya, Bro. Kapan-kapan lanjut lagi ceritanya, sepertinya kamu tertarik
banget sama cerita si dia,” imbuhnya seraya bangkit dan menepuk bahu Aksara
yang tampak salah tingkah.
Sepeninggal
Dimas, perhatian Aksara tersita pada parsel buah yang konon diberikan oleh
Hesty. Dengan segera lelaki itu membuka plastik pembungkus keranjang, lalu
mengambil sepucuk surat yang terselip di dalamnya.
“Tu—tulisan
ini?!”
Netra
tajam Aksara terbelalak saat melihat tulisan sang pengirim. Sebenarnya tidak
ada yang aneh hanya ucapan biasa yang Hesty tulis, tetapi yang membuat Aksara
terenyak adalah tulisan Hesty persis sekali dengan tulisan seseorang yang dia
kenal di masa lalu.
