Hidup Dalam Sepi
Kelelahan. Ya, itulah hasil pemeriksaan dokter. Aksara tak bisa menepis diagnosa lelaki ber-jas putih itu karena akhir-akhir ini dirinya memang sengaja melakukan lebih banyak kegiatan agar pikiran kalutnya terlupakan. Tak jarang dia pun menunda makan dan tidur larut malam.
Aksara tidak menyangka kelakuan-kelakuan buruk itu mengharuskannya pasrah ketika perawat menusuk punggung tangannya dengan jarum infus.
Tetes demi tetes cairan dari botol bening itu mengalir melalui selang kecil yang terhubung ke tangan, nutrisi badannya harus kembali tercukupi agar raganya itu bisa kembali sehat seperti sediakala.
Keadaan pembuluh darah kecil dan halus membuat perawat membutuhkan waktu lebih lama, wanita ramah itu harus bekerja ekstra untuk menemukan pembuluh darah pasiennya. Dia tidak bisa sembarangan menusukkan benda tajam itu di tempat yang dia sukai, semua memiliki prosedurnya masing-masing.
Sedikit sakit, apalagi bukan hanya satu-dua kali benda mungil itu menembus kulitnya, tetapi tak apa bagi Aksara, asalkan setelahnya dia kembali sehat dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa.
Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, wanita anggun dengan nurse cup di pucuk kepalanya itu pun berhasil memasang infusion set di lengan kiri Aksara. Setelahnya, dengan ramah dia pamit undur diri.
Bangunan bercat putih dan berbau obat itu menjadi saksi bisu perjalanan pahit Aksara. Dia tak tahu apa yang akan terjadi jika tak mendapat bantuan dari temannya.
“Makasih ya, sudah nganterin ke klinik,” tutur Aksara begitu suster meninggalkan ruangan.
Lelaki yang tengah duduk di dekat ranjang itu menyengir kuda, kemudian menepuk kaki Aksara cukup keras. “Udah, jan sungkan begitu, kek ke siapa aja.”
“Sungkan sih enggak, cuma gak ada uang receh buat bayar ongkos disopirin.”
“Sialan!” Lelaki berpakaian santai itu kembali tertawa membuat barisan giginya tampak kentara. “Nanti-nanti kurangin kegiatanmu, atau gak kau nyari istri aja biar bisa bagi tugas, jan semua pekerjaan kamu yang garap. Kalau punya istri kan rumah ada yang urus, sakit pun gak sendirian, malam juga ada yang meluk gak kedinginan,” tambahnya tampak ringan, senyum masih menghias bibir hitamnya.
Kali ini Aksara yang tertawa. Dia sama sekali tak tersinggung, atau pun merasa terluka, dia paham betul watak jenaka temannya.
“Tampangmu kan lumayan, pekerjaan juga oke, rumah ada, kok bisa gak laku?” Lelaki bernama Andre itu mengernyitkan kening, seolah tengah menimbang sesuatu yang tak bisa dia pahami sepenuhnya.
Mendengar itu Aksara refleks menarik napas dalam. Seharusnya temannya itu membiarkannya beristirahat, bukan malah menambah beban pikiran.
“Rumah ada gimana? Itu ngontrak.” Aksara membantah pernyataan yang meluncur lancar dari mulut temannya karena rumah yang dia tempati sekarang memang bukan rumahnya, dia hanya mengontrak.
“Ya, tetep aja ada ngontrak pun.” Andre masih kukuh, dua tangannya menyilang di depan dada.
“Ya berarti jodohnya belum ada.”
“Kau yang gak mau nyari!”
Aksara mengusap wajah frustrasi, dia tak berminat lagi untuk menjawab ucapan temannya karena apa yang temannya itu ucapan benar juga. Selain usianya yang terbilang sudah matang, dia pun sudah berhasil menggapai cita-citanya. Lantas apalagi kiranya yang dia tunggu? Entahlah, dia seperti kehilangan arah—tak tahu apa dan ke mana tujuan hidupnya.
Sejak hari menyakitkan itu dirinya seolah tak mau mengenal lagi yang namanya cinta. Bahkan setelah ditinggal pergi oleh cinta pertamanya, dia sama sekali tak pernah kembali menjalin kasih dengan satu orang pun.
Sebenarnya pernah terbesit untuk menjalin kasih, kemudian membina mahligai rumah tangga, hanya saja baginya keinginan itu hanya keinginan semata saat dirinya benar-benar merasa kesepian. Setelah rasa itu menguap bersama angan, dia kembali fokus dengan kehidupannya—sendiri.
Untuk beberapa saat Aksara maupun temannya sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Hingga dering ponsel membuyarkan keduanya.
“Iya halo. Mas masih di rumah sakit. Ada apa?” jawab Andre begitu ponsel bertengger di telinganya. Untuk beberapa saat lelaki itu fokus bercakap dengan seseorang di seberang sana, sementara Aksara masih fokus dengan pikirannya yang melayang entah ke mana, menelusuri kenangan dan tanya yang belum jua menemukan jawaban.
“Maaf ya, Bro, gak bisa nungguin kamu sampe sembuh, aku mesti cabut sebelum macan betina di rumah murka,” tutur Andre pada Aksara setelah menutup sambungan telepon. Padahal awalnya dia berniat menemani Aksara paling tidak sampai besok pagi. Namun, rupanya rencana tinggallah rencana, ada sesuatu yang mengharuskannya pulang ke rumah.
Aksara menyengir kuda mendengar ucapan kawannya, apalagi saat lelaki itu menggerakkan tangan menyerupai hewan yang dia ucapkan tadi.
“Baliklah, dicakar pula kamu nanti.”
“Mending dicakar doang, biasanya kalau dia sudah ngamuk disuruh tidur di luar lelaki tampan rupawan ini.”
Mendengar itu sontak Aksara terkekeh.
“Ada-ada aja, udah sana pergi, keburu ngamuk beneran istrimu. Aku juga mau istirahat ini,” ungkapnya seraya memejamkan mata. “Tapi besok jemput lagi ya, sekarang luluhin dulu macan kamu itu,” imbuhnya menambahkan tanpa menoleh sedikit pun.
“Oke sip. Berdoa aja biar aku gak lupa. Kalau lupa ya sudah terima takdir saja, naek angkot,” jawab lelaki berkaus itu seraya berjalan menjauh setelah sebelumnya meninju kaki Aksara yang terbalut selimut klinik sebagai isyarat kalau dirinya hendak pulang. Sementara Aksara tampak tak memberikan respons apa pun, matanya mulai berat, mungkin obat yang tadi perawat suntikkan ke dalam labu sudah bereaksi.
Baru saja hendak menggapai mimpi, ponsel yang sejak tadi berada di saku celananya berdering. Karena kantuk tak tertahan, pun malas untuk berbicara, akhirnya Aksara memutuskan untuk membiarkan benda pipih tersebut. Namun, sepertinya sang penelepon tak menyerah begitu saja, saat sambungan terputus dia kembali menghubungi, membuat Aksara mau tidak mau harus mengangkatnya.
“Dimas. Ada apa?” gumam lelaki beralis tebal itu sembari mengernyit.
“Aksara besok kan MGMP di balai pelatihan, kalau bisa tolong sekalian jemput ke rumah ya, motorku lagi ngadat, masih di bengkel, ” jelas sang penelepon mengutarakan tujuannya dengan suara yang cukup kencang membuat Aksara refleks menjauhkan gawai dari telinga.
“Sepertinya aku gak bisa hadir, Mas, lagi gak enak badan,“ jawab Aksara terus terang.
“Loh kamu kenapa? Tadi siang masih ngajar kan?”
Dengan mata terpejam Aksara kembali menjawab pertanyaan rekan kerjanya di sekolah. “Cuma kecapean kok Mas, sama sedikit pusing aja ini kepala.” Untung saja sang penelepon tidak melakukan panggilan video.
*
Tiga hari sudah Aksara tergolek lemah, membuatnya tidak bisa berangkat mengajar. Sebenarnya meriang dan sakit kepalanya sudah mendingan, hanya saja dokter menyarankan agar dirinya meliburkan diri selama dua sampai tiga hari, menunggu sampai tubuhnya benar-benar sehat.
Tentu saja Aksara menerima saran tersebut karena dia tidak mau kembali drop dan mengharuskannya kembali di rawat di ruangan hampa berbau obat itu.
Ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong roti yang Andre bawakan, lelaki berhidung mancung itu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda cukup lama.
Pena di genggamannya itu menari-nari di atas kertas putih, menorehkan sepenggal demi sepenggal cerita. Setiap coretannya bak sungai kata, mengalir, membawa perasaan yang tak keruan. Apalagi tulisannya kali ini adalah tentang wanita tercintanya.
“Hidup jauh darimu laksana kapal yang kehilangan jangkar, mengapung tak tentu arah, terombang-ambing terbawa sepi. Aku hidup, tetapi hanya seperti bayangan.”