Tumbang

SepwaL 8 min read

 Lelaki berjaket hitam itu terlihat berlari di tengah derasnya hujan. Setelah membuka pagar rumah, dia kembali berlari menuju motornya yang masih menyala. Decit ban kendaraan beroda dua itu terdengar nyaring di tengah gemuruh hujan yang jatuh tanpa jeda.



Begitu tiba di teras rumah, dia bergegas memarkirkan motor yang juga basah kuyup. Sepertinya kali ini alam tak lagi memihaknya, dia yang tak membawa mantel terpaksa harus menerobos hujan sejak di tengah perjalanan.


Bukan tak niat berteduh, hanya saja biasanya hujan di akhir tahun itu selalu bertahan lama, dia tak tahu kapan langit akan kembali memeluk awan dan membuatnya berhenti menangis. Ditambah lagi badannya makin tak keruan. Baginya terbaring di rumah lebih baik daripada terbaring di jalan dengan posisi cakrawala yang sedang tidak bersahabat.


Tangan kokohnya kali ini terlihat bergetar, entah kedinginan atau badannya sudah tidak bisa diajak kerja sama lagi, wajah tampannya pun tampak pucat dihiasi bibir yang menjadi sedikit kebiru-biruan.


Dengan tangan bergetar, dia mengeluarkan anak kunci dari ranselnya, kemudian memasukkan benda kecil itu pada handle pintu kayu yang dipenuhi ukiran khas Jepara.


Begitu pintu rumah terbuka, dia bergegas melangkah ke kamar mandi dan membuka semua kain yang membalut tubuhnya, kemudian membersihkan diri.


Rasa dingin langsung menggerogoti begitu air menyiram tubuh telanjangnya. Tak ada acara memakai sabun ataupun sampo seperti biasanya, yang dia tahu tubuhnya bersih dari air hujan dan tanah yang mungkin menempel karena dia menerobos hujan yang turun dengan lebat.


Beberapa menit kemudian dia melilit tubuh menggigilnya itu dengan handuk panjang. Sebenarnya dia berniat untuk menyeduh air jahe agar tubuhnya terasa hangat, tetapi sepertinya tubuhnya itu sudah tidak bisa diajak kerja sama lagi, ia sudah benar-benar lelah dan menyerah.


Akhirnya lelaki berhidung mancung itu pun mengalah, dia memberikan kesempatan pada tubuhnya agar beristirahat dan melupakan setumpuk perkerjaannya untuk beberapa saat.


Baru saja netra tajamnya terkatup tenggelam dalam hening, sebuah sentuhan lembut menyentuh punggungnya membuat dia kembali terjaga. Begitu mendongak, tampak wanita tercintanya duduk di belakang.


Wajah teduh nan penuh kelembutan itu membuat Aksara menjadi rapuh. Lelaki berusia 30 tahun itu pun bangkit dari pembaringan dengan susah payah, kemudian memeluk wanita tercintanya erat. Dalam keadaan demikian, mungkin pelukan hangat dan kasih sayang tuluslah yang bisa menuntunnya kembali pada sembuh


“Kamu sakit? Badanmu panas,” tanyanya lembut seraya menyugar rambut Aksara, kemudian mengusap dahinya yang sudah dibanjiri peluh.


Bukannya menjawab Aksara malah makin mengeratkan pelukan, membuat wanita di sebelahnya tersenyum lembut. Dengan senang hati sang wanita pun memberikan Aksara sedikit waktu untuk menumpahkan semua gundahnya.


“Sudahkan ngisi semangatnya? Sekarang, biarkan Ibu pergi ke dapur, ya,” ujarnya setelah melihat sang putra lebih tenang.


“Nggak usah, Ibu ngapain ke dapur? ” tanya Aksara tanpa merenggangkan pelukannya sedikit pun.


“Ibu akan membuat teh jahe kesukaanmu, sekalian bawain kompresan biar panasnya cepet turun.”


Lelaki berhidung mancung itu tidak langsung menjawab, dia malah diam terhanyut dalam pikiran, entah apa yang menggelayuti pikirannya.


“Em ... baiklah, tapi jangan lama-lama, ya.” Dia mengurai pelukan sedikit berat. “Ibu balik lagi kan?” imbuhnya memastikan, netra tajamnya menatap wajah sang ibu penuh arti.


Wanita itu mengangguk pelan, kemudian berlalu meninggalkan Aksara sendiri dalam keheningan.


Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai dua puluh menit berlalu, wanita paruh baya tersebut belum jua kembali menemui Aksara, jelas saja hal itu membuat Aksara gelisah. Akhirnya sambil terhuyung-huyung lelaki bertubuh jangkung itu menyusul ke dapur.


Tiba di dapur, pemandangan tak mengenakkan langsung tersaji di depannya, laksana sebuah film yang sedang terputar. Lelaki yang dia panggil ayah itu terlihat tengah memarahi wanita tercintanya. Bahasa yang terlontar dari pria klimis berpakaian rapi itu begitu kasar dan menyayat hati. Kata-kata yang seharusnya tak patut keluar dari seorang pemimpin keluarga.


Tentu saja Aksara tak terima sang ibu diperlukan demikian, padahal dia tahu betul ibunya itu adalah sosok yang begitu lembut dan penurut. Lantas, apa kiranya yang membuat sang ayah begitu murka?


“Cukup! Tarik lagi ucapan Ayah! Ucapan yang sama sekali tak pantas keluar dari mulut seorang suami dan seorang ayah,” ujar Aksara tegas. Tentu saja, tidak ada seorang anak pun yang ikhlas ibunya diperlakukan demikian.


Lelaki berwajah menakutkan itu menatap Aksara tajam—tatapannya bak seekor singa lapar yang hendak mencabik buruannya. Walaupun begitu Aksara sama sekali tak gentar.


“Diam! Kamu cuma anak ingusan! Anak gak tahu diuntung dibesarkan mahal-mahal malah ngelunjak, gak tahu balas budi!” ucapannya menggelegar. Wajah lelaki itu terlihat memerah, dadanya naik turun tak beraturan, kentara sekali jika emosi tengah menggerogoti tubuhnya. “Kalau bisa memilih, aku gak sudi punya anak sepertimu!” imbuhnya penuh penekanan, matanya masih menatap nyalang ke arah sang putra.


Aksara tersenyum miris, padahal bukan hanya satu dua kali dirinya mendengar perkataan demikian dari ayahnya, tetapi tetap saja ada yang berdenyut di dalam hatinya.


Aksara memilih untuk tidak menanggapi ucapan lelaki yang menurunkan genetik dalam dirinya, dia memilih mengalah kemudian meraih tangan sang ibu yang tampak berkaca-kaca dan mengajaknya menjauh.


Namun, saat dia dan ibunya pergi, sang ayah menarik tangan ibunya cukup kencang, membuat wanita paruh baya itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh membentur lantai.


Melihat itu baik Aksara mau pun ayahnya sama-sama terkejut, apalagi begitu melihat cairan merah tiba-tiba menggenang di lantai. Suasana tiba-tiba menjadi hening, dan sejak saat itulah rumah mewah bergaya Eropa nan indah itu menjadi tempat paling memuakkan bagi Aksara.


“Ibu! Bu, bangun Bu! Please Bu, jangan tinggalin Aksara!” teriak Aksara memecah kesunyian malam.


Guntur menggelegar di tengah derasnya hujan, bunyinya yang nyaring membuat Aksara tersentak dari tidurnya. Dada lelaki itu terlihat naik-turun, keringat sebesar biji-biji jagung pun menghias dahinya. Sembari mengatur napas, dia menyingkap selimut tebal yang tadi membungkus tubuhnya. Sejenak dia menatap sekeliling, syukurlah, adegan mengerikan yang berjalan hampir satu jam itu hanya sebuah mimpi.


Berbanding terbalik, jika tadi dia merasakan dingin yang begitu menusuk tulang, kali ini badannya terasa panas sekali.


Setelah mengusap wajahnya berkali-kali, dia pun bergegas melangkah menuju ke dapur untuk membuat teh sekaligus membawa air hangat. Setelahnya, dia kembali ke kamar dengan gelas dan baskom kecil di tangannya.


Tanpa meminta bantuan siapa pun, dia langsung mengompres tubuhnya sekaligus menenggak obat yang selalu dia stok di rumah.


Sepertinya kali ini tubuhnya benar-benar lelah, biasanya setelah meminum obat tubuhnya itu akan merasa baikkan, sekarang obat tersebut seolah tak berpengaruh sedikit pun. Tubuhnya makin panas, kepalanya pun makin berdenyut nyeri.


Karena keadaan sudah tidak memungkinkan, dia memutuskan untuk menelepon temannya dan meminta bantuan. Tidak mungkin dengan keadaan yang seperti demikian dia harus pergi ke klinik sendirian, apalagi posisi di luar masih hujan. Untung saja temannya itu bersedia mengantarnya.

SepwaL
SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi
Posting Komentar
Kode Iklan Tengah 1
Kode Iklan Tengah 2
Kode Iklan Bawah
Teks Footer