Tumbang
Lelaki berjaket hitam itu terlihat berlari di tengah derasnya hujan. Setelah membuka pagar rumah, dia kembali berlari menuju motornya yang masih menyala. Decit ban kendaraan beroda dua itu terdengar nyaring di tengah gemuruh hujan yang jatuh tanpa jeda.
Begitu
tiba di teras rumah, dia bergegas memarkirkan motor yang juga basah kuyup.
Sepertinya kali ini alam tak lagi memihaknya, dia yang tak membawa mantel
terpaksa harus menerobos hujan sejak di tengah perjalanan.
Bukan
tak niat berteduh, hanya saja biasanya hujan di akhir tahun itu selalu bertahan
lama, dia tak tahu kapan langit akan kembali memeluk awan dan membuatnya
berhenti menangis. Ditambah lagi badannya makin tak keruan. Baginya terbaring
di rumah lebih baik daripada terbaring di jalan dengan posisi cakrawala yang
sedang tidak bersahabat.
Tangan
kokohnya kali ini terlihat bergetar, entah kedinginan atau badannya sudah tidak
bisa diajak kerja sama lagi, wajah tampannya pun tampak pucat dihiasi bibir
yang menjadi sedikit kebiru-biruan.
Dengan
tangan bergetar, dia mengeluarkan anak kunci dari ranselnya, kemudian
memasukkan benda kecil itu pada handle pintu kayu yang dipenuhi ukiran khas
Jepara.
Begitu
pintu rumah terbuka, dia bergegas melangkah ke kamar mandi dan membuka semua
kain yang membalut tubuhnya, kemudian membersihkan diri.
Rasa
dingin langsung menggerogoti begitu air menyiram tubuh telanjangnya. Tak ada
acara memakai sabun ataupun sampo seperti biasanya, yang dia tahu tubuhnya
bersih dari air hujan dan tanah yang mungkin menempel karena dia menerobos
hujan yang turun dengan lebat.
Beberapa
menit kemudian dia melilit tubuh menggigilnya itu dengan handuk panjang.
Sebenarnya dia berniat untuk menyeduh air jahe agar tubuhnya terasa hangat,
tetapi sepertinya tubuhnya itu sudah tidak bisa diajak kerja sama lagi, ia
sudah benar-benar lelah dan menyerah.
Akhirnya
lelaki berhidung mancung itu pun mengalah, dia memberikan kesempatan pada
tubuhnya agar beristirahat dan melupakan setumpuk perkerjaannya untuk beberapa
saat.
Baru
saja netra tajamnya terkatup tenggelam dalam hening, sebuah sentuhan lembut
menyentuh punggungnya membuat dia kembali terjaga. Begitu mendongak, tampak
wanita tercintanya duduk di belakang.
Wajah
teduh nan penuh kelembutan itu membuat Aksara menjadi rapuh. Lelaki berusia 30
tahun itu pun bangkit dari pembaringan dengan susah payah, kemudian memeluk
wanita tercintanya erat. Dalam keadaan demikian, mungkin pelukan hangat dan
kasih sayang tuluslah yang bisa menuntunnya kembali pada sembuh
“Kamu
sakit? Badanmu panas,” tanyanya lembut seraya menyugar rambut Aksara, kemudian
mengusap dahinya yang sudah dibanjiri peluh.
Bukannya
menjawab Aksara malah makin mengeratkan pelukan, membuat wanita di sebelahnya
tersenyum lembut. Dengan senang hati sang wanita pun memberikan Aksara sedikit
waktu untuk menumpahkan semua gundahnya.
“Sudahkan
ngisi semangatnya? Sekarang, biarkan Ibu pergi ke dapur, ya,” ujarnya setelah
melihat sang putra lebih tenang.
“Nggak
usah, Ibu ngapain ke dapur? ” tanya Aksara tanpa merenggangkan pelukannya
sedikit pun.
“Ibu
akan membuat teh jahe kesukaanmu, sekalian bawain kompresan biar panasnya cepet
turun.”
Lelaki
berhidung mancung itu tidak langsung menjawab, dia malah diam terhanyut dalam
pikiran, entah apa yang menggelayuti pikirannya.
“Em
... baiklah, tapi jangan lama-lama, ya.” Dia mengurai pelukan sedikit berat.
“Ibu balik lagi kan?” imbuhnya memastikan, netra tajamnya menatap wajah sang
ibu penuh arti.
Wanita
itu mengangguk pelan, kemudian berlalu meninggalkan Aksara sendiri dalam
keheningan.
Lima
menit, sepuluh menit, bahkan sampai dua puluh menit berlalu, wanita paruh baya
tersebut belum jua kembali menemui Aksara, jelas saja hal itu membuat Aksara
gelisah. Akhirnya sambil terhuyung-huyung lelaki bertubuh jangkung itu menyusul
ke dapur.
Tiba
di dapur, pemandangan tak mengenakkan langsung tersaji di depannya, laksana
sebuah film yang sedang terputar. Lelaki yang dia panggil ayah itu terlihat
tengah memarahi wanita tercintanya. Bahasa yang terlontar dari pria klimis
berpakaian rapi itu begitu kasar dan menyayat hati. Kata-kata yang seharusnya
tak patut keluar dari seorang pemimpin keluarga.
Tentu
saja Aksara tak terima sang ibu diperlukan demikian, padahal dia tahu betul
ibunya itu adalah sosok yang begitu lembut dan penurut. Lantas, apa kiranya
yang membuat sang ayah begitu murka?
“Cukup!
Tarik lagi ucapan Ayah! Ucapan yang sama sekali tak pantas keluar dari mulut
seorang suami dan seorang ayah,” ujar Aksara tegas. Tentu saja, tidak ada
seorang anak pun yang ikhlas ibunya diperlakukan demikian.
Lelaki
berwajah menakutkan itu menatap Aksara tajam—tatapannya bak seekor singa lapar
yang hendak mencabik buruannya. Walaupun begitu Aksara sama sekali tak gentar.
“Diam!
Kamu cuma anak ingusan! Anak gak tahu diuntung dibesarkan mahal-mahal malah
ngelunjak, gak tahu balas budi!” ucapannya menggelegar. Wajah lelaki itu
terlihat memerah, dadanya naik turun tak beraturan, kentara sekali jika emosi
tengah menggerogoti tubuhnya. “Kalau bisa memilih, aku gak sudi punya anak
sepertimu!” imbuhnya penuh penekanan, matanya masih menatap nyalang ke arah
sang putra.
Aksara
tersenyum miris, padahal bukan hanya satu dua kali dirinya mendengar perkataan
demikian dari ayahnya, tetapi tetap saja ada yang berdenyut di dalam hatinya.
Aksara
memilih untuk tidak menanggapi ucapan lelaki yang menurunkan genetik dalam
dirinya, dia memilih mengalah kemudian meraih tangan sang ibu yang tampak
berkaca-kaca dan mengajaknya menjauh.
Namun,
saat dia dan ibunya pergi, sang ayah menarik tangan ibunya cukup kencang,
membuat wanita paruh baya itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh membentur
lantai.
Melihat
itu baik Aksara mau pun ayahnya sama-sama terkejut, apalagi begitu melihat
cairan merah tiba-tiba menggenang di lantai. Suasana tiba-tiba menjadi hening,
dan sejak saat itulah rumah mewah bergaya Eropa nan indah itu menjadi tempat
paling memuakkan bagi Aksara.
“Ibu!
Bu, bangun Bu! Please Bu, jangan tinggalin Aksara!” teriak Aksara memecah
kesunyian malam.
Guntur
menggelegar di tengah derasnya hujan, bunyinya yang nyaring membuat Aksara
tersentak dari tidurnya. Dada lelaki itu terlihat naik-turun, keringat sebesar
biji-biji jagung pun menghias dahinya. Sembari mengatur napas, dia menyingkap
selimut tebal yang tadi membungkus tubuhnya. Sejenak dia menatap sekeliling,
syukurlah, adegan mengerikan yang berjalan hampir satu jam itu hanya sebuah
mimpi.
Berbanding
terbalik, jika tadi dia merasakan dingin yang begitu menusuk tulang, kali ini
badannya terasa panas sekali.
Setelah
mengusap wajahnya berkali-kali, dia pun bergegas melangkah menuju ke dapur
untuk membuat teh sekaligus membawa air hangat. Setelahnya, dia kembali ke
kamar dengan gelas dan baskom kecil di tangannya.
Tanpa
meminta bantuan siapa pun, dia langsung mengompres tubuhnya sekaligus menenggak
obat yang selalu dia stok di rumah.
Sepertinya
kali ini tubuhnya benar-benar lelah, biasanya setelah meminum obat tubuhnya itu
akan merasa baikkan, sekarang obat tersebut seolah tak berpengaruh sedikit pun.
Tubuhnya makin panas, kepalanya pun makin berdenyut nyeri.
Karena
keadaan sudah tidak memungkinkan, dia memutuskan untuk menelepon temannya dan
meminta bantuan. Tidak mungkin dengan keadaan yang seperti demikian dia harus
pergi ke klinik sendirian, apalagi posisi di luar masih hujan. Untung saja
temannya itu bersedia mengantarnya.