Payung untuk 2 hati
Pagi menjelma umpama tirai langit yang baru saja terbuka. Lelaki yang masih tergolek di atas pembaringan itu tampak enggan untuk bangkit menjalani hari, andai boleh rasanya dia ingin sekali berpeluk mimpi sampai siang nanti. Namun, ada impian yang mesti diraihnya di depan sana. Di sela keheningan, detak jam terdengar bagai bisikan waktu yang terus memburu.
Setelah
mengumpulkan kepingan-kepingan nyawanya yang tercecer laksana puzzle tanpa
wadah, lelaki tampan berbadan tinggi itu pun bangkit dari peraduan. Dia berdiri
tegap, kemudian menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan membuat tulangnya
berderak. Setelah badannya terasa ringan barulah dia berjalan menuju jendela
yang berada di sebelah timur ranjang.
Udara
segar langsung menerpa tubuhnya begitu kaca terbuka, netra yang beberapa menit
lalu masih terasa berat dan enggan terbuka kini terbuka sempurna. Untuk
beberapa saat netra tajam bak burung elang itu mengamati sekeliling, mengagumi
lukisan sempurna karya Sang Maha Kuasa. Tak hanya indah, tetapi penuh hikmah.
Sang
surya belum datang menunjukkan keindahannya, langit masih kelabu diselimuti
kabut tipis. Tetes embun sebening kaca memenuhi dedaunan di sekitar, tanaman
hijau itu seperti baru saja selesai berwudu.
Setelah
puas menikmati keindahan, lelaki bernama lengkap Aksara Dwi Putra itu kembali
mengayunkan langkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh sekaligus
bersuci sebelum menghadap Ilahi.
Detik
berlalu, menit berjalan, beberapa saat kemudian Aksara keluar dari kamar mandi
dengan rambut basah dan handuk membalut sebagian tubuhnya.
Monoton,
tidak ada yang spesial jua pagi ini, semua kegiatan berjalan seperti biasa.
Setelah memakai pakaian dinasnya, dia segera menghadap Ilahi. Menjalankan
kewajibannya, kemudian melangitkan doa-doa yang seolah masih tertahan di atas
sana.
Sebenarnya
hari ini Aksara hendak mengirimkan surat izin melalui aplikasi presensi harian
pembimbing untuk tidak masuk sekolah, sejak semalam badannya terasa meriang,
kepalanya pun sedikit sakit. Entah karena memang cuaca yang akhir-akhir ini
kurang bersahabat, atau memang karena faktor lain. Bukan rahasia umum lagi di
negara tercinta ini begitu memasuki akhir tahun bumi kerap dibasuh air hujan.
Sama seperti pagi ini, bukan sorot pajar yang menyapa lembut, melainkan bayang
kelabu yang menghiasi.
Aksara
tak ingin terlarut-larut dalam kebingungan, dia memutuskan untuk tetap pergi
mengajar, berharap sakit kepala yang dirasanya bisa enyah begitu bertemu dengan
murid-muridnya yang selalu antusias menantinya. Setelah menyampirkan ransel
pada pundak kokohnya, lelaki berparas tampan itu pun pergi dengan senyum samar
di wajahnya.
Setelah
bergelut dengan hiruk pikuk perjalanan, Aksara tiba di tempatnya mengajar.
Sepertinya semesta tengah berpihak kepadanya, begitu tiba di sekolah hujan pun
turun. Tak bisa dia bayangkan jika hujan turun sejak di perjalanan dapat
dipastikan hal tersebut bisa memperburuk keadaannya. Apalagi semalam Aksara
lupa memasukkan kembali jas hujannya ke dalam bagasi motor.
Tiba-tiba
langkah Aksara tertahan saat seseorang memanggilnya dari kejauhan. Netra tajam
miliknya menyipit memerhatikan seseorang yang kian mendekat ke arahnya.
“Selamat
pagi, Pak. Maaf mengganggu waktunya.” Perempuan berjilbab panjang itu menyapa
Aksara dengan senyum menghias wajahnya.
“Pagi,”
jawab Aksara singkat, kemudian mengarahkan pandangan ke arah lain. Hal tersebut
jelas saja membuat wanita yang berada tepat di depannya heran, sebelah alisnya
terlihat terangkat begitu melihat perangai lelaki yang tak sengaja dia temui di
tempat yang mungkin akan menjadi tempatnya mengajar selama beberapa tahun ke
depan.
Wanita
itu berdehem seolah memberikan isyarat agar seseorang di depannya mengatakan
sesuatu atau mungkin melontarkan pertanyaan kepadanya. Namun, hingga beberapa
menit ke depan pria itu masih saja bergeming. Akhirnya dia yang kembali memulai
pembicaraan.
“Perkenalkan
nama saya Hesty, Pak, saya guru sejarah baru di sekolah ini.”
Pandangan
Aksara yang tadi menyorot ke arah lain, kini dia fokuskan pada lawan bicaranya.
“Ba-Baik Bu Hesty, selamat datang,” jawab Aksara sedikit gugup. Selain memiliki
sifat introvert, lelaki itu pun merasa kurang nyaman berduaan dengan perempuan
yang baru dia temui, apalagi keadaan sedang hujan deras otomatis guru dan
murid-murid sudah masuk ke ruangannya
masing-masing.
Lagi-lagi
Hesty menyunggingkan senyum manisnya, walaupun Aksara terlihat biasa saja,
bahkan senyum samar pun tidak terlihat dari raut wajahnya yang padahal begitu
tampan.
“Maaf
Pak, saya lupa membawa payung, bolehkah saya ikut Bapak sampai ke kantor
sekolah,” pinta Hesty.
Jam
menunjukkan pukul 07:25 WIB, itu artinya beberapa menit lagi Aksara sudah harus
masuk ke kelas. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi dia pun mengangguk
mengiyakan permintaan Hesty. Andai saja ada payung lain yang bisa dia pakai, dia
akan memberikan payungnya tersebut kepada Hesty daripada harus berpayung
bersama, dia benar-benar tidak suka berada di posisi yang demikian.
Rintik
hujan terus mengguyur bumi, iramanya bak simfoni yang diciptakan langit untuk
menenangkan cakrawala yang sepertinya sedang letih. Setiap tetesnya mengalunkan
nada yang berbeda. Indah, tetapi dingin—sedingin sikap lelaki berhidung mancung
itu.
Hesty
lagi-lagi menyunggingkan senyum membuat garis bibirnya terangkat seperti bulan
sabit di malam hari, dia benar-benar tak peduli dengan sikap lelaki di
sebelahnya yang tetap cuek.
Payung
berwarna hitam itu tergenggam kuat di jemari Aksara yang kokoh, bagaimana
tidak? Angin berdesir cukup kencang, lengah sedikit saja payung itu bisa
terlepas dari genggaman.
Tangan
kokoh itu terlihat sedikit bergetar, bukan karena kedinginan, melainkan karena
jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Aksara menggeser sedikit tubuhnya
agar jarak dia dan Hesty tidak terlalu rapat, tanpa diduga Hesty ikut bergeser
mendekat ke arahnya. Hal itu tentu saja membuat Aksara makin kikuk, tetapi dia
berusaha untuk berpikir positif, mungkin saja Hesty bergeser ke arahnya karena
hujan memang cukup deras sementara payung yang dia bawa tidak terlalu lebar,
jelas saja hal itu bisa membuat rintik hujan membasahi pakaian yang Hesty
kenakan.
Dengan
langkah yang sedikit canggung, Aksara terus melangkah menuju ke ruang kepala
sekolah—tempat yang ingin Hesty tuju, setelahnya barulah dia akan pergi
mengajar anak-anak.
Namun,
saat hendak melangkahkan kaki menaiki anak tangga, kaki Hesty tergelincir,
sontak saja hal tersebut membuat tubuhnya limbung. Tangannya refleks memegang
tangan Aksara, agar tubuhnya tidak jatuh dan basah kuyup.
Begitu
pun dengan Aksara walaupun cuek, tetapi naluri lelakinya tetap ada, dia
memegang pinggang Hesty dan membantunya kembali berdiri.
“Hati-hati,
di sini memang sedikit licin,” ujar Aksara pelan, tetapi masih bisa ditangkap
oleh indera pendengaran Hesty.
Kali
ini tidak ada senyuman yang tersungging di wajah manis Hesty, wajahnya malah
terlihat meringis, sepertinya peristiwa beberapa detik lalu membuatnya
kesakitan.
Dengan
sedikit tertatih Hesty pun kembali meneruskan langkah, tanpa sadar tangannya
terus menggenggam tangan kiri Aksara sebagai tahanan.
Tak
membutuhkan waktu lama, sepasang makhluk yang tanpa sengaja dipertemukan oleh
takdir itu sampai di depan kantor sekolah.
“Silakan,
maaf tidak bisa mengantar sampai ke dalam, saya harus segera masuk ke kelas,”
ujar Aksara masih dengan raut wajah yang sama membuat Hesty merasa tak enak
hati.
“Baik
Pak, terima kasih banyak, maaf merepotkan.” Seulas senyum kembali Hesty
rekahkan, berharap lelaki yang sudah membantunya itu membalas. Nyatanya bukan
senyuman yang Aksara berikan, lelaki itu malah menggerakkan matanya ke arah
tangan Hesty yang masih menggantung
memegangi tangannya.
Melihat
isyarat yang Aksara berikan, sontak saja Hesty melepas pegangannya. “Ma-maaf,
Pak.”
Permintaan
maaf Hesty menggantung di udara, Aksara tak berniat untuk sekadar mengangguk
apalagi menjawabnya, lelaki beralis tebal itu segera mengayunkan langkah,
kembali menerobos hujan yang masih setia menemani bumi.