Part 17 Pengkhianatan

Beberapa hari setelah mendapatkan perawatan intensif di rumah, kondisi Hadi semakin memburuk. Meskipun dokter dan perawat telah berupaya sebaik mungkin, Hadi akhirnya tidak dapat diselamatkan. Riris merasa hancur saat menyaksikan ayahnya mengembuskan napas terakhirnya.

Dalam keadaan panik dan kesedihan, Riris segera menelepon Dani untuk mengabarkan berita duka ini. Namun, teleponnya tidak diangkat. Riris mencoba menelepon beberapa kali lagi, tetapi Dani masih tidak menjawab. Riris terus mencoba berkali-kali, namun panggilannya tetap tidak diangkat.

Pengkhianatan

Merasa semakin cemas dan putus asa, Riris akhirnya memutuskan untuk menelepon Fadil. Dia berharap Fadil bisa datang segera dan memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan saat ini.

“Fadil, Ayah sudah pergi. Ayah meninggal tadi,” kata Riris dengan suara bergetar.

Fadil terdiam sejenak di ujung telepon, lalu berkata, “Aku segera ke sana, Riris. Tunggu aku.”

Sementara itu, Prasetyo dan istrinya tidak berada di rumah. Mereka sedang keluar untuk urusan penting dan belum mengetahui kondisi terbaru Hadi.

Beberapa saat kemudian, Fadil tiba di rumah Prasetyo. Ia segera menemui Riris yang duduk di samping jenazah ayahnya. Fadil memeluk Riris dengan erat, mencoba memberikan ketenangan di tengah kesedihan yang mendalam.

“Kita akan melalui ini bersama, Riris. Ayahmu telah pergi dengan damai. Kita harus kuat untuknya,” kata Fadil dengan suara lembut.

Riris mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Fadil. 

“Apa kamu sudah menghubungi ayah Pras?” tanya Fadil.

Riris menelepon Prasetyo untuk mengabarkan berita duka tersebut. “Ayah Hadi sudah pergi, dia sudah meninggal tadi,” kata Riris dengan suara bergetar.

Prasetyo terdiam sejenak di ujung telepon. “Astaga, Riris. Aku sangat menyesal. Kami akan segera pulang,” jawab Prasetyo dengan suara yang terdengar cemas.

Prasetyo dan istrinya segera meninggalkan urusan mereka dan kembali ke rumah. Begitu tiba, mereka langsung menemui Riris dan Fadil yang berada di ruang tempat Hadi berada. Prasetyo memeluk Riris erat, berusaha memberikan kekuatan di tengah kesedihan yang mendalam.

“Ayah sangat menyesal, meninggalkan kalian,” kata Prasetyo.

Setelah beberapa saat, Prasetyo memandang Riris dengan dalam. “Riris, ayah punya usulan. Bagaimana jika kalian langsung menikah di depan jasad Hadi? Dengan begitu, kita tidak perlu menunggu lama, dan Ayahmu bisa 'hadir' dalam pernikahan kalian.”

Riris terkejut mendengar usulan tersebut, namun ia menyadari bahwa ini mungkin cara terbaik untuk menghormati keinginan ayahnya.

Riris mengangguk pelan, setuju dengan usulan Prasetyo. “Baik, Ayah. Aku setuju untuk menikah sekarang, di hadapan jasad Ayah Hadi.”

Prasetyo tersenyum tipis, merasa lega bahwa Riris setuju. “Baiklah, kita perlu membawa Dani ke sini. Tadinya Fadil yang akan menjemputnya ke kantor bersama bodyguard, tapi mengingat situasinya, mungkin lebih baik kalau kamu dan Fadil yang pergi sendiri.”

Riris berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Ayah. Kami akan menjemput Dani sekarang.”

Fadil menatap Riris dengan penuh empati. “Kita harus cepat, Riris. Kita tidak boleh membuang waktu.”

Setelah berpamitan dengan Prasetyo dan memastikan segala persiapan untuk pernikahan dilakukan sementara mereka pergi, Riris dan Fadil segera berangkat menuju kantor Dani.

Perjalanan ke kantor Dani terasa panjang dan penuh kecemasan. Riris berusaha menenangkan dirinya, sementara Fadil mengemudi dengan hati-hati namun tetap cepat.

Sesampainya di kantor Dani, Fadil dan Riris segera menuju lantai tempat Dani bekerja. Namun, saat mereka tiba di depan pintu ruangan Dani, seorang resepsionis menghentikan mereka.

“Maaf, Anda tidak bisa masuk tanpa janji,” kata resepsionis dengan tegas.

Fadil mencoba menjelaskan, “Ini darurat. Kami harus bertemu Dani sekarang juga.”

Resepsionis tetap bersikeras, “Saya tidak bisa membiarkan Anda masuk tanpa izin.”

Riris, yang sudah sangat cemas, memutuskan untuk memaksa masuk. “Saya Riris, tunangan Dani, dan kami tidak punya waktu untuk ini!" katanya sambil mendorong pintu ruangan Dani.

Ketika mereka berhasil masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mereka. Dani sedang berciuman dengan sekretarisnya. Mereka berdua terkejut dan segera melepaskan diri satu sama lain.

Riris merasa syok melihat kejadian itu. “Dani, apa yang kau lakukan?” teriaknya dengan suara bergetar.

Dani terlihat panik dan mencoba menjelaskan, “Riris, ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

Namun, Riris tidak bisa mendengar penjelasan lebih lanjut. Tubuhnya terasa lemas dan pandangannya mulai kabur. Dalam hitungan detik, dia pingsan di tempat.

Fadil segera berlari untuk menangkap Riris sebelum dia jatuh ke lantai. “Riris! Bangun, Riris!” katanya dengan cemas.

Dani, yang masih terkejut, segera menghampiri mereka. “Apa yang terjadi? Riris, bangunlah!”

Fadil menatap Dani dengan marah. “Ini semua salahmu, Dani! Bagaimana bisa kau melakukan ini padanya?”

Dani merasa bersalah dan bingung. “Aku nggak tahu harus gimana. Kita harus membawanya ke rumah sakit."

Fadil mengangguk dan dengan hati-hati mengangkat Riris. Mereka segera membawa Riris keluar dari kantor dan menuju mobil untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

Di perjalanan, Fadil terus memegang tangan Riris, berharap dia segera sadar. Dani duduk di belakang kemudi dan membawa mobil, dia merasa sangat bersalah atas apa yang telah terjadi.

Sesampainya di rumah sakit, Riris segera dibawa ke ruang gawat darurat untuk mendapatkan perawatan. Fadil dan Dani menunggu dengan cemas di luar ruangan, berharap Riris segera pulih.

Saat Riris sadar, dia langsung meronta dengan penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, dia menendang Dani dengan brutal hingga Dani terjatuh ke lantai. 

“Riris, tenanglah!” seru Fadil, mencoba menenangkan Riris yang masih dalam keadaan syok.

Namun, Riris tidak bisa menahan emosinya. "Aku nggak mau melihatmu lagi, Dani! Kau telah menghancurkan segalanya!” teriaknya dengan suara bergetar.

Dani, yang masih terjatuh di lantai, mencoba bangkit dengan wajah penuh rasa bersalah. “Riris, aku bisa jelaskan.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan! Aku harus pulang sekarang. Ayah Hadi harus segera dimakamkan,” kata Riris dengan tegas, memaksa untuk bangun dari tempat tidur rumah sakit.

Fadil segera membantu Riris berdiri. “Baik, kita akan pulang sekarang. Aku akan mengurus semuanya,” katanya dengan suara lembut namun tegas.

Mereka segera meninggalkan rumah sakit, dengan Fadil mendukung Riris yang masih lemah. Dani hanya bisa melihat mereka pergi dengan perasaan hancur dan penuh penyesalan.

Dalam perjalanan pulang, Riris berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia harus kuat untuk menghadapi pemakaman ayahnya. Fadil terus berada di sisinya, memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan.

Sesampainya di rumah, Riris langsung menuju ruang tempat jenazah Hadi berada. Prasetyo segera menghampirinya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

“Riris, di mana Dani?” tanya Prasetyo, berharap mendapatkan jawaban.

Namun, Riris tidak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Dia berusaha menahan air mata yang mengalir, merasa sakit hati dan kecewa yang mendalam. Dengan suara gemetar, dia berkata, “Ayah, tolong ... segera makamkan Ayah Hadi. Tidak akan ada acara pernikahan di sini.”

Prasetyo terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Riris. Melihat kesedihan yang begitu mendalam di wajah putrinya, dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut. Dia tahu bahwa Riris sedang menghadapi banyak hal.

“Baik, Riris. Kita akan segera mempersiapkan pemakaman Hadi,” kata Prasetyo dengan suara lembut.

Dengan bantuan keluarga dan teman-teman, mereka segera mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Riris tetap berada di samping jenazah ayahnya, berusaha tegar meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

Fadil, yang selalu setia di sisi Riris, memberikan dukungan penuh. “Aku akan selalu ada di sini untukmu, Riris. Jika kamu tidak keberatan aku bisa menggantikan Dani untuk menjadi suamimu.”

“Maaf, Fadil.”

Fadil mencoba mengerti dengan keadaan Riris yang sedang terpukul saat ini.



SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi

Belum ada Komentar untuk " Part 17 Pengkhianatan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel