Lelaki Tanpa Senyum
Selamat pagi anak-anak. Maaf Bapak telat masuk kelas, barusan ada urusan sebentar,” ucap Aksara begitu memasuki kelas. Kali ini wajah tampannya dihiasi senyuman. Indah, umpama cahaya rembulan di malam kelam.
“Bapak
dari mana, Pak?”
“Bapak
telat tujuh menit, ya!”
“Iya
nih, berdosa sekali. Bapak korupsi waktu kita.”
Kali
ini bukan hanya senyum manis yang Aksara tunjukkan, lelaki bermata elang itu
tampak tertawa saat mendengar celoteh murid-muridnya.
Hal
itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa dirinya begitu semangat menjalani
hari. Apalagi profesinya saat ini adalah hal yang sejak lama dia cita-citakan.
Ya, sejak kecil Aksara memang sudah akrab dengan buku, membaca menjadi kegiatan
yang tak bisa dipisahkan dari kesehariannya. Bagaimana tidak? Dirinya memang
terlahir dari seorang penulis. Tentu saja darah literasi mengalir deras di
tubuhnya.
Begitu
waktu kuliah tiba, dia mantap untuk mengambil jurusan sastra bahasa Indonesia.
Sampai akhirnya apa yang dia impikan sejak lama itu tercapai, ya, sekarang dia
menjadi guru bahasa Indonesia di salah satu SMA ternama di kotanya.
Menjadi
guru bagi Aksara bukan hanya bekerja, menjalankan profesi, kemudian mendapatkan
gaji, tetapi lebih dari itu. Bahasa bukan hanya kumpulan kata, melainkan
jembatan untuk mengungkapkan isi hati. Maka dari itu lelaki tampan tersebut
begitu mencintai pekerjaannya. Tak jarang dia tetap pergi mengajar saat
tubuhnya kurang fit, sama seperti saat ini.
“Anggap
saja tujuh menit itu sebagai ganti karena kemarin kamu telat sepuluh menit saat
mengikuti pelajaran Bapak, Nilam,” jawab Aksara seraya berjalan pelan menuju
papan tulis, spidol hitam sudah bercokol di tangannya.
Mendengar
itu sontak saja murid-murid bersorak-sorai meneriaki dan menggoda Nilai. Nilam
sendiri terlihat salah tingkah, dia berusaha menutup wajah dengan dua
tangannya.
“Ih,
Bapak! Bapak jangan gitu dong. Itu kan kemarin, sekarang aku stay setengah jam
sebelum lonceng berbunyi.” Gadis bersifat sedikit centil itu berusaha
memberikan penjelasan. “Gadis cantik, manis, baik hati, dan tidak sombong ini
berjanji tidak akan masuk telat lagi,” imbuhnya membuat kelas kian riuh,
beberapa siswa laki-laki terlihat memukul-mukul bangku seraya tertawa.
“Baiklah
Nilam yang baik hati dan tidak sombong, Bapak juga berjanji tidak akan telat
lagi,” jawab Aksara seraya mengulum senyum membuat Nilam gelagapan, tangan
gadis itu kini tampak menepuk-nepuk pundak teman sebangkunya.
“Sekarang
kalian duduk tenang, Bapak akan memulai pelajaran. Melanjutkan materi minggu
kemarin mengenai teks fiksi dan non fiksi. Karena minggu kemarin kita sudah
mempelajari sekaligus berlatih membuat karya tulis non fiksi berarti sekarang
kita akan mempelajari karya fiksi.”
Aksara
menjelaskan dengan saksama, sementara tangan kanannya bergerak lihai di atas
papan tulis. Sesekali lelaki berperawakan tinggi itu berjalan berkeliling
memutari barisan bangku anak didiknya untuk memastikan semua mendapat perhatian
yang sama.
“Lima
karya terbaik akan Bapak berikan hadiah, selain itu karyanya akan dipajang di
mading sekolah.”
Anak-anak
yang tengah fokus mencermati materi seraya menyalinnya ke bukunya
masing-masing, kini serempak bertepuk tangan. Mereka benar-benar terhibur
dengan guru muda tersebut.
Biasanya pelajaran bahasa Indonesia itu
terkenal membosankan, ditambah lagi gurunya yang monoton dan terlalu formal.
Namun, kali ini guru bahasa Indonesia mereka bersikap sebaliknya, selain masih
muda, lelaki tersebut pun mampu membuat suasana menjadi hangat, energinya
seolah bisa memompa semangat mereka, pun selalu ada tantangan dan hadiah-hadiah
mengesankan yang dia berikan.
Bel
istirahat berbunyi nyaring memenuhi setiap sudut sekolah, itu artinya tiga jam
sudah Aksara mengajar. Setelah memasukkan buku paket dan beberapa alat tulis
lainnya, lelaki jangkung itu pun bersiap meninggalkan kelas.
“Kerjakan
dengan baik, Bapak tagih minggu depan! Siap-siap saja yang karyanya dipajang di
mading pasti akan menjadi artis dadakan di sekolah,” canda Aksara sebelum
benar-benar meninggalkan kelas, senyum kembali terlihat menghias wajah
tampannya.
Langkah
demi langkah Aksara tapaki, sampai akhirnya dia berbelok dan masuk ke kantor
sekolah. Dia yang awalnya hendak beristirahat sembari memakan bekal makan
siangnya terpaksa harus mengurungkan niat karena suasana di kantor ramai
sekali. Guru-guru tengah asyik berbincang dan memperkenalkan diri dengan guru
baru—Hesty.
“Pak
Aksara,” panggil Pak Agung begitu netranya menangkap sosok Aksara yang baru
saja datang.
Baru
saja menjatuhkan tubuh ke kursi, Aksara terpaksa harus kembali bangkit dan
menghampiri sang kepala sekolah. Sebenarnya dia tidak keberatan, hanya saja
dirinya merasa sedikit canggung.
Pak
Agung menepuk bahu Aksara saat Aksara berada tepat di sebelahnya. Lelaki
berambut cepak itu memang akrab dengan rekan-rekannya, walaupun jabatannya
jelas lebih atas dibanding yang lainnya, tetapi dia tidak pernah menuntut untuk
dihormati apalagi dispesialkan.
“Pak
Aksara, hari ini kita kedatangan guru baru, beliau adalah guru yang
menggantikan Bu Nimas. Silakan berkenalan,” pinta Pak Agung.
“Selamat
Pagi Pak, saya Hesty guru sejarah yang baru,” ucap Hesty mendahului karena
Aksara malah terlihat diam.
Dengan
perasaan tak keruan Aksara menjabat tangan lentik yang terulur di depannya,
kemudian dia pun bergantian memperkenalkan diri.
“Pagi.
Saya Aksara, guru bahasa Indonesia. Selamat datang, semoga Bu Hesty betah dan
merasa nyaman mengajar di sekolah kami. ”
Hesty
merasa sedikit tak percaya karena kali ini lelaki yang tadi pagi membantunya
mengulas senyum, walaupun hanya senyum samar. Padahal jujur saja tadi Hesty
sempat berpikir negatif kepada Aksara saat lelaki itu tiba-tiba saja pergi
tanpa menjawab ucapannya.
Setelah
berbincang beberapa saat, Aksara pun pamit undur diri kepada kepala sekolah dan
rekan-rekannya, lelaki itu berniat untuk beristirahat di perpustakaan sekolah
saja agar merasa lebih tenang.
Namun,
keinginannya itu terpaksa dia kubur dalam-dalam karena Hesty hendak ikut ke
perpustakaan.
“Maaf
Pak, Bapak mau ke perpustakaan, ya? Bolehkah saya ikut sekalian? Kebetulan saya
belum mengetahui perpustakaan di sebelah mana, sementara saya harus mengambil
buku paket dan beberapa buku lain untuk menunjang pembelajaran.” Tanpa sungkan
Hesty mengutarakan tujuannya. Sikapnya yang humble terkadang membuat dirinya
gampang akrab walaupun dengan orang yang baru dikenalnya.
Netra
Aksara membulat, dia tak percaya kata-kata tersebut keluar dari seseorang yang
baru saja dijumpainya. Sebenarnya tidak apa-apa, pun tidak merugikan, hanya
saja Aksara merasa tak keruan, dia benar-benar merasa canggung sekaligus kikuk.
Namun, untuk menolak pun rasanya Aksara tak kuasa, apalagi bersangkutan dengan
proses belajar mengajar anak-anak didiknya. Setelah berpikir untuk beberapa
saat, akhirnya Aksara pun mengiyakan permintaan Hesty.
Setelah
berpamitan kepada kepala sekolah dan guru-guru lainnya yang masih asyik
bersenda gurau, Hesty dan Aksara pun pergi ke perpustakaan yang tempatnya tidak
jauh dari kantor sekolah.
Aksara
berjalan kikuk, sementara Hesty membuntuti di belakang, wanita cantik tersebut
terlihat terus merekahkan senyum apalagi ketika bertemu dengan anak-anak yang
sebentar lagi akan menjadi anak didiknya. Netra bulatnya itu asyik berkelana,
memindai sudut demi sudut ruangan yang tentu saja masih asing baginya.
Tanpa
diduga, tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan terjerembap karena tak sengaja
menabrak sosok di depannya yang tiba-tiba berhenti. Sebenarnya bukan Aksara
yang berhenti tiba-tiba, tetapi Hesty yang terlalu asyik melihat sekeliling
sampai-sampai dia tidak sadar jikalau Aksara menyudahi langkah.
“Ma-maaf.”
Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Hesty, dia benar-benar malu, sikap
cerobohnya itu terlalu sulit untuk dikendalikan.
Saat
dia berusaha untuk kembali berdiri, sebuah tangan kokoh terulur di depan
wajahnya. Sontak saja netra cokelatnya itu langsung berpaling memindai sang
pemilik tangan, ternyata sosok tersebut adalah lelaki yang sejak pagi dia
repotkan.
“Mari saya bantu, lain kali lebih berhati-hati lagi,” ujar Aksara dingin, sedingin wajahnya yang tampak tanpa ekspresi.