Lelaki Tanpa Senyum

SepwaL 8 min read

Selamat pagi anak-anak. Maaf Bapak telat masuk kelas, barusan ada urusan sebentar,” ucap Aksara begitu memasuki kelas. Kali ini wajah tampannya dihiasi senyuman. Indah, umpama cahaya rembulan di malam kelam.


“Bapak dari mana, Pak?”

“Bapak telat tujuh menit, ya!”

“Iya nih, berdosa sekali. Bapak korupsi waktu kita.”


Kali ini bukan hanya senyum manis yang Aksara tunjukkan, lelaki bermata elang itu tampak tertawa saat mendengar celoteh murid-muridnya.


Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa dirinya begitu semangat menjalani hari. Apalagi profesinya saat ini adalah hal yang sejak lama dia cita-citakan. Ya, sejak kecil Aksara memang sudah akrab dengan buku, membaca menjadi kegiatan yang tak bisa dipisahkan dari kesehariannya. Bagaimana tidak? Dirinya memang terlahir dari seorang penulis. Tentu saja darah literasi mengalir deras di tubuhnya.


Begitu waktu kuliah tiba, dia mantap untuk mengambil jurusan sastra bahasa Indonesia. Sampai akhirnya apa yang dia impikan sejak lama itu tercapai, ya, sekarang dia menjadi guru bahasa Indonesia di salah satu SMA ternama di kotanya.


Menjadi guru bagi Aksara bukan hanya bekerja, menjalankan profesi, kemudian mendapatkan gaji, tetapi lebih dari itu. Bahasa bukan hanya kumpulan kata, melainkan jembatan untuk mengungkapkan isi hati. Maka dari itu lelaki tampan tersebut begitu mencintai pekerjaannya. Tak jarang dia tetap pergi mengajar saat tubuhnya kurang fit, sama seperti saat ini.


“Anggap saja tujuh menit itu sebagai ganti karena kemarin kamu telat sepuluh menit saat mengikuti pelajaran Bapak, Nilam,” jawab Aksara seraya berjalan pelan menuju papan tulis, spidol hitam sudah bercokol di tangannya.


Mendengar itu sontak saja murid-murid bersorak-sorai meneriaki dan menggoda Nilai. Nilam sendiri terlihat salah tingkah, dia berusaha menutup wajah dengan dua tangannya.


“Ih, Bapak! Bapak jangan gitu dong. Itu kan kemarin, sekarang aku stay setengah jam sebelum lonceng berbunyi.” Gadis bersifat sedikit centil itu berusaha memberikan penjelasan. “Gadis cantik, manis, baik hati, dan tidak sombong ini berjanji tidak akan masuk telat lagi,” imbuhnya membuat kelas kian riuh, beberapa siswa laki-laki terlihat memukul-mukul bangku seraya tertawa.


“Baiklah Nilam yang baik hati dan tidak sombong, Bapak juga berjanji tidak akan telat lagi,” jawab Aksara seraya mengulum senyum membuat Nilam gelagapan, tangan gadis itu kini tampak menepuk-nepuk pundak teman sebangkunya.


“Sekarang kalian duduk tenang, Bapak akan memulai pelajaran. Melanjutkan materi minggu kemarin mengenai teks fiksi dan non fiksi. Karena minggu kemarin kita sudah mempelajari sekaligus berlatih membuat karya tulis non fiksi berarti sekarang kita akan mempelajari karya fiksi.”


Aksara menjelaskan dengan saksama, sementara tangan kanannya bergerak lihai di atas papan tulis. Sesekali lelaki berperawakan tinggi itu berjalan berkeliling memutari barisan bangku anak didiknya untuk memastikan semua mendapat perhatian yang sama.


“Lima karya terbaik akan Bapak berikan hadiah, selain itu karyanya akan dipajang di mading sekolah.”


Anak-anak yang tengah fokus mencermati materi seraya menyalinnya ke bukunya masing-masing, kini serempak bertepuk tangan. Mereka benar-benar terhibur dengan guru muda tersebut.


 Biasanya pelajaran bahasa Indonesia itu terkenal membosankan, ditambah lagi gurunya yang monoton dan terlalu formal. Namun, kali ini guru bahasa Indonesia mereka bersikap sebaliknya, selain masih muda, lelaki tersebut pun mampu membuat suasana menjadi hangat, energinya seolah bisa memompa semangat mereka, pun selalu ada tantangan dan hadiah-hadiah mengesankan yang dia berikan.


Bel istirahat berbunyi nyaring memenuhi setiap sudut sekolah, itu artinya tiga jam sudah Aksara mengajar. Setelah memasukkan buku paket dan beberapa alat tulis lainnya, lelaki jangkung itu pun bersiap meninggalkan kelas.


“Kerjakan dengan baik, Bapak tagih minggu depan! Siap-siap saja yang karyanya dipajang di mading pasti akan menjadi artis dadakan di sekolah,” canda Aksara sebelum benar-benar meninggalkan kelas, senyum kembali terlihat menghias wajah tampannya.


Langkah demi langkah Aksara tapaki, sampai akhirnya dia berbelok dan masuk ke kantor sekolah. Dia yang awalnya hendak beristirahat sembari memakan bekal makan siangnya terpaksa harus mengurungkan niat karena suasana di kantor ramai sekali. Guru-guru tengah asyik berbincang dan memperkenalkan diri dengan guru baru—Hesty.


“Pak Aksara,” panggil Pak Agung begitu netranya menangkap sosok Aksara yang baru saja datang.


Baru saja menjatuhkan tubuh ke kursi, Aksara terpaksa harus kembali bangkit dan menghampiri sang kepala sekolah. Sebenarnya dia tidak keberatan, hanya saja dirinya merasa sedikit canggung.


Pak Agung menepuk bahu Aksara saat Aksara berada tepat di sebelahnya. Lelaki berambut cepak itu memang akrab dengan rekan-rekannya, walaupun jabatannya jelas lebih atas dibanding yang lainnya, tetapi dia tidak pernah menuntut untuk dihormati apalagi dispesialkan. 


“Pak Aksara, hari ini kita kedatangan guru baru, beliau adalah guru yang menggantikan Bu Nimas. Silakan berkenalan,” pinta Pak Agung.


“Selamat Pagi Pak, saya Hesty guru sejarah yang baru,” ucap Hesty mendahului karena Aksara malah terlihat diam.


Dengan perasaan tak keruan Aksara menjabat tangan lentik yang terulur di depannya, kemudian dia pun bergantian memperkenalkan diri.


“Pagi. Saya Aksara, guru bahasa Indonesia. Selamat datang, semoga Bu Hesty betah dan merasa nyaman mengajar di sekolah kami. ”


Hesty merasa sedikit tak percaya karena kali ini lelaki yang tadi pagi membantunya mengulas senyum, walaupun hanya senyum samar. Padahal jujur saja tadi Hesty sempat berpikir negatif kepada Aksara saat lelaki itu tiba-tiba saja pergi tanpa menjawab ucapannya.


Setelah berbincang beberapa saat, Aksara pun pamit undur diri kepada kepala sekolah dan rekan-rekannya, lelaki itu berniat untuk beristirahat di perpustakaan sekolah saja agar merasa lebih tenang.


Namun, keinginannya itu terpaksa dia kubur dalam-dalam karena Hesty hendak ikut ke perpustakaan.


“Maaf Pak, Bapak mau ke perpustakaan, ya? Bolehkah saya ikut sekalian? Kebetulan saya belum mengetahui perpustakaan di sebelah mana, sementara saya harus mengambil buku paket dan beberapa buku lain untuk menunjang pembelajaran.” Tanpa sungkan Hesty mengutarakan tujuannya. Sikapnya yang humble terkadang membuat dirinya gampang akrab walaupun dengan orang yang baru dikenalnya.


Netra Aksara membulat, dia tak percaya kata-kata tersebut keluar dari seseorang yang baru saja dijumpainya. Sebenarnya tidak apa-apa, pun tidak merugikan, hanya saja Aksara merasa tak keruan, dia benar-benar merasa canggung sekaligus kikuk. Namun, untuk menolak pun rasanya Aksara tak kuasa, apalagi bersangkutan dengan proses belajar mengajar anak-anak didiknya. Setelah berpikir untuk beberapa saat, akhirnya Aksara pun mengiyakan permintaan Hesty.


Setelah berpamitan kepada kepala sekolah dan guru-guru lainnya yang masih asyik bersenda gurau, Hesty dan Aksara pun pergi ke perpustakaan yang tempatnya tidak jauh dari kantor sekolah.


Aksara berjalan kikuk, sementara Hesty membuntuti di belakang, wanita cantik tersebut terlihat terus merekahkan senyum apalagi ketika bertemu dengan anak-anak yang sebentar lagi akan menjadi anak didiknya. Netra bulatnya itu asyik berkelana, memindai sudut demi sudut ruangan yang tentu saja masih asing baginya.


Tanpa diduga, tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan terjerembap karena tak sengaja menabrak sosok di depannya yang tiba-tiba berhenti. Sebenarnya bukan Aksara yang berhenti tiba-tiba, tetapi Hesty yang terlalu asyik melihat sekeliling sampai-sampai dia tidak sadar jikalau Aksara menyudahi langkah.


“Ma-maaf.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Hesty, dia benar-benar malu, sikap cerobohnya itu terlalu sulit untuk dikendalikan.


Saat dia berusaha untuk kembali berdiri, sebuah tangan kokoh terulur di depan wajahnya. Sontak saja netra cokelatnya itu langsung berpaling memindai sang pemilik tangan, ternyata sosok tersebut adalah lelaki yang sejak pagi dia repotkan.


“Mari saya bantu, lain kali lebih berhati-hati lagi,” ujar Aksara dingin, sedingin wajahnya yang tampak tanpa ekspresi.

SepwaL
SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi
Posting Komentar
Kode Iklan Tengah 1
Kode Iklan Tengah 2
Kode Iklan Bawah
Teks Footer