Mencari Kamu
Aku masih terdiam dengan segala pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Tentang Dian dan apa yang dilakukan selama sebulan ini. Sejak sebulan lalu dia tidak berangkat ke kampus dan 2 minggu terakhir dia sudah tidak menghubungiku.
"Pak! Jangan ngelamun terus dong!" tegur Anin sambil menepuk bahuku dengan cukup keras.
Aku menoleh. "Ya. Ada apa?"
"Ayo, cari lagi! Apa udahan aja?" tanyanya lagi.
"Kan kamu tadi denger kalau Dian udah nggak berangkat sejak sebulan," jawabku lalu duduk bersandar di bangku taman.
"Apa dia pindah?"
Aku sedikit terkesiap. Pindah? Kenapa pindah?
"Ayo ikut! Jangan malah ngelamun lagi." Anin menarik tanganku lagi. Entah akan dibawa ke mana aku olehnya saat ini.
Kami berdua menyusuri beberapa lorong. Aku agak heran kenapa dia yang malah begitu antusias membantuku. Sementara Dian dengan mudahnya meninggalkanku, bahkan tanpa kabar.
"Kita mau ke mana?" tanyaku pada Anin. Penasaran juga dengan anak ini.
"Ke bagian administrasi, tanya. Kak Dian pindah atau keluar atau cuti," jawabnya sambil terus menarikku.
Sampai di ruang administrasi, aku pun hanya lebih pasif dan menjawab pertanyaan sekedarnya saja.
"Jadi Kak Dian pindah, Bu?" tanya Anin yang duduk di sampingku.
"Iya, dari data yang ada di sini, memang dia pindah."
Kami keluar dengan jawaban yang membuatku terus bertanya-tanya. Kenapa pindah? Kenapa nggak ngabarin? Dan kenapa kenapa yang lain.
"Nggak usah pusing, Pak. Kita ke rumahnya yuk!" ajaknya lagi.
"Hah? Ke rumahnya?" Aku terkejut.
"Jangan bilang Pak Zu nggak tau rumahnya," tuduhnya.
"Tau, tapi kenapa nggak kepikiran dari kemarin ya?"
"Hadeeeh!" Dia menepuk dahinya kemudian menarikku lagi. "Ayo, gas! Sekarang Anin yang naik motor. Pak Zu mulai oleng nih, takut kalau Anin yang bonceng," tambahnya.
"Terserah saja."
"Tunjukin arahnya," balas dia lagi.
"Iya."
*
Rasanya sudah tidak ada harapan lagi untuk menunggu Dian. Bahkan ketika beberapa waktu lalu aku menuju ke rumahnya, tetangga dekat rumahnya berkata jika dia sudah pindah sejak sebulan yang lalu.
Itu berarti memang aku tidak sepenting itu untuk sekedar diberi kabar ketika dia ingin meninggalkan kota ini atau bahkan saat dia ingin meninggalkanku.
Harusnya liburan akhir tahun aku habiskan dengannya, tetapi malah aku habiskan untuk merenungi kepergiannya. Mencintainya tidak semudah itu, apalagi untuk melupakannya—aku merasa ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, jika nanti aku bertemu dengannya lagi aku hanya ingin meminta penjelasan kenapa dia meninggalkanku tanpa pamitan.
Sesekali aku pergi ke taman tempat di mana kami biasanya bersama. Juga sesekali aku menonton film horor kesukaannya. Tentu saja dengan harapan aku bisa bertemu dengannya, meskipun hanya sekali saja.
Sekarang aku juga sedang duduk di cafe langganan kami, sambil berharap dia datang membuka pintu dan menyapaku dengan hangat. Namun, setelah satu bulan berlalu harapan itu tidak kunjung berubah menjadi kenyataan, yang ada malah membuat luka ini semakin dalam.
"Pak Zuhayr!" Ketika ada seseorang yang menyebut namaku, aku langsung menoleh berharap dia adalah gadis berhijab dengan senyum manisnya yang aku tunggu selama ini.
"Hey! Di sini?" tanyanya. Dia Anin, siapa lagi?
"Iya. Kamu kan punya cafe sendiri kenapa kamu ada di sini?" Aku balik bertanya pada Anin.
"Anin janjian sama temen, Pak. Teman waktu SMP."
"Oh, gitu," balasku datar.
"Eh itu dia anaknya datang. Anin ke sana dulu ya Pak, nanti kalau Pak Zuhayr belum pulang Anen ke sini lagi." Tanpa perlu aku jawab dia langsung menjauh dariku dan mendekati temannya itu.
Aku kembali tenggelam dalam pikiranku yang sulit untuk dinormalisasi. Dia masih saja terpikir untuk menunggu seseorang yang sudah sangat tidak menghargai. Entahlah kadang cinta memang bisa membuat otak menjadi agak gila.
Detik demi detik aku lewati dalam keramaian, tetapi pikiranku kosong dan hatiku terasa sangat sepi. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya lewat ponsel, tetapi semua akses itu tertutup atau bahkan pintu hatinya juga.
Sebenarnya aku hanya butuh penjelasan kenapa dia tiba-tiba pergi dariku. Jika memang sudah bosan atau aku tidak cocok untuknya bukankah itu bisa dibicarakan baik-baik?
"Hai, Pak! Stop ngelamun!" Tepukan di pundak yang cukup keras membangunkanku dari pikiran tentang Dian.
Aku masih menatap gelas kopiku yang telah kosong karena aku tahu yang memanggilku tidak lain adalah Anin. Sesuai janjinya tadi dia kembali menuju ke mejaku dan duduk tepat di hadapanku. Dia membawa dua gelas smoothies avocado kesukaanku.
"Udahlah, kalau dipikirin terus nanti Pak Zuhayr bisa gila." Celetukannya memang benar aku mungkin bisa gila jika terus saja memikirkan tentang dia. Namun, aku tidak bisa apa pun dan tidak bisa mengendalikan otak dan perasaanku.
Lagi. Cinta yang terlanjur terlalu dalam ini malah membuatku tenggelam dan tak bisa bangkit lagi.
"Anin, bahkan aku sudah gila dibuatnya."
"Minum dulu, Pak. Siapa tahu hati Bapak bakal lebih tenang." Anin menyodorkan gelas smoothies itu lebih dekat padaku.
"Saya nggak bisa tenang. Minimal saya harus tahu kenapa dia meninggalkan saya begitu saja. Apa pun alasannya saya bisa menerima." Akhirnya aku menyedot smoothies yang Ani tawarkan.
"Apakah jika Pak Zuhayr tahu kenapa Kak Dian ninggalin Pak Zuhayr apa pun alasannya akan diterima?" Dia mengulang kalimatku padahal baru saja aku mengucapkannya.
"Tentu."
"Sepertinya Anin tidak perlu banyak berkata, tetapi mungkin foto ini bisa mewakilinya." Anin menyodorkan ponselnya padaku dan di sana terpampang wajah Dian yang begitu cantik dengan balutan gaun putih dan sayangnya dia tidak sendiri melainkan bersama seseorang yang menggunakan setelan jas dan berfoto memegang buku nikah.
Hancur? Jangan ditanya. Aku pasti hancur melihat kekasihku yang begitu aku cintai malah menikah dengan orang lain. Dan itu pun tanpa memutuskan hubungannya denganku.
Mencintai seseorang dengan begitu dalam nyatanya membuat kecewa yang aku rasakan juga teramat dalam. Bukan kali pertama memang, tetapi sakit yang menghujam lebih dalam dari sebelumnya.
Jika dulu cintaku terhalang restu Tuhan, mungkin kali ini cintaku terhalang karena jabatan.
Ya, karena aku tahu lelaki yang berada bersama dengan Dian di foto tadi adalah seseorang yang aku kenal dan dia adalah salah satu manager perusahaan. Menyedihkan sekali ketika cinta sejati kalah materi.
Cinta. Kadang memang sesakit itu.
Posting Komentar