Awal dari Semuanya
"iga menit yang berlalu serasa 30 jam. Hingga akhirnya sekarang aku sudah berada di halaman kampus, dan aku tahu jika Friska belum datang"
[Ping!]
Sebuah pesan kukirim pada Friska. Ya, kini duniaku hanya tentang dia saja. Sebenarnya ada beberapa teman yang satu prodi denganku, tetapi mereka tidak seistimewa Friska.
[Ketemu di kantin ya, Ka]
Kukirim pesan lagi padanya. Belum ada balasan, mungkin kelasnya belum selesai. Jadi, aku memilih menunggunya.
Hari ini sudah seminggu sejak pertemuan terakhir kami. Memang kami berdua jarang bertemu karena jam kuliah kami berbeda dan kerap kali berbenturan dan hanya ada satu kesempatan yaitu hari ini. Mungkin sebentar lagi.
"Eh, Bro. Kamu nggak ke kantin?" tanya Herman, salah satu temanku di kampus ini.
"Duluan aja sana!" titahku pada lelaki kurus dan tinggi itu.
"Ya deh, aku duluan," jawabnya kemudian berlalu.
Sementara itu aku masih di sini duduk dengan gelisah sembari menunggu balasan dari pujaan hatiku.
Namun, dia yang kutunggu balasannya tak kunjung mengirimiku pesan hingga akhirnya aku memilih untuk bangkit dari kursi dan berjalan untuk keluar dari kelas. Dan tiba-tiba gadis yang kutunggu tadi sudah ada di depanku.
"Zuhayr!" serunya.
"Eh, padahal tadi aku BBM kamu, loh. Malah kamunya udah di sini," jawabku sedikit terkejut.
"Ah, iya! Aku malah lupa buka hp. Kelar kelas langsung ke sini, takutnya kamu nungguin lama, terus keburu laper deh," katanya sembari mengambil ponsel dan terlihat membaca pesan.
"Enggak juga sih, santai aja."
"Sorry ya, hehehe," ucapnya sambil tersenyum manis.
"Nggak apa-apa, sih. Langsung ke kantin aja yuk!" ajakku pada gadis itu.
Dia pun mengiyakan ajakanku karena memang mungkin dia sudah lapar. Kami pun berjalan beriringan menuju ke kantin sambil ngobrol ringan tentang kelas tadi. Ya, kami emang makin akrab setelah pertemuan seminggu yang lalu. Bahkan setiap malam kami habiskan untuk berkirim pesan dan bertukar pendapat. Bersama dengannya terasa semenyenangkan itu.
Setibanya kami di kantin kami pun duduk berhadapan dan kemasan makanan seperti biasanya. Ketika aku dan Friska tengah mengobrol tiba-tiba Herman datang lagi.
"Eh, Bro. Katanya nggak ke kantin. Taunya sama cewek cantik datengnya," tegur Herman ketika dia datang dan menepuk pundakku.
"Eh, hai! Temannya Zuhayr yah?" Friska mengulurkan tangannya untuk menyapa Herman dan temanku itu juga menyambut tangan Friska.
"Iya, namaku Herman."
"Aku Friska. Sini gabung aja sekalian makannya," ajak Friska lagi.
"Iya, gabung aja sini." Aku menimpali.
"Ah, enggak deh, aku udah kelar makannya. Duluan yah," jawab Herman yang langsung menjauh dari kami.
Namun, dari kejauhan dia terlihat mengacungkan ibu jarinya sambil mengedipkan sebelah mata. Ah, dasar!
Seperti yang sudah kuduga, setelah aku selesai makan bareng Friska dia terus bertanya siapa gadis itu, bahkan sampai sore.
Ya, akhirnya aku jawab kalau dia gebetanku.
"Beneran? Kenapa nggak langsung tembak aja?" tanya lagi.
Aku pun melenggang meninggalkan lelaki berambut gimbal itu dan menjawab, "Cinta butuh waktu, nggak harus terburu-buru. Santai saja, jika dia akan menjadi milikku, cinta akan menemukan jalannya."
"Sok banget kau! Diambil orang baru tau rasa," decak Herman yang kemudian tidak terdengar lagi suaranya.
Waktu berjalan perlahan hubunganku dan Friska pun mulai terbiasa bersama dan masing-masing pun saling memberi kabar setiap hari. Namun, baik aku maupun Friska belum sempat atau belum berani untuk melaju ke jenjang yang lebih serius mungkin sekedar pacaran.
Karena mungkin aku yang terlalu takut akan penolakan, sedangkan gadis friendly Sepertidia mungkin memperlakukan semua lelaki sama. Jikapun dia ada sayang sama itu juga tidak akan mungkin dia ucapkan terlebih dahulu, dia kan perempuan. Sementara aku masih belum berani, bahkan jika itu hanya sekedar pacaran, hingga hubungan tanpa status yang kami jalani ini sampai di semester ketiga kuliah.
[Ping!]
Pagi ini, aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan padanya.
[Nanti makan siang bareng yuk!]
Kebetulan hari ini kami berdua sama-sama tidak ada kelas siang, jadi Sepertnya sekarang waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatiku padanya. Apalagi hari ini tanggal cantik.
Beberapa menit menunggu sambil bersiap-siap ke kampus, akhirnya notifikasi yang kutunggu pun datang, yaitu balasan pesan dari Friska.
[Ayo, di mana?]
Melihat lampu hijau darinya, aku menjawab lagi.
[Di kafe dekat kampus ya]
[Tumben ga di kantin?] Balasnya lagi.
[Aku mau ngomong hal penting sama kamu]
[Eh, emang yang biasanya kita omongin nggak penting?] Balasnya lagi.
[Ini lebih penting dari biasanya]
[Oke lah]
Alhamdulillah, dia mau. Sekarang gimana caranya aku nembak dia, tapi biar langsung diterima.
"Gimana yah, caranya nembak Friska?" gumamku sendirian di depan kamar kost.
"Hey! Yang mau nembak Friska nih," tegur Herman yang tiba-tiba sudah ada di belakangku sambil memegang pundakku.
"Iya, aku pengen hubungan ini ga jalan di tempat," jawabku santai.
Lelaki berambut gimbal itu langsung duduk di sebelahku dan menanggapi lagi ucapanku. "Nah, akhirnya kamu mikir ke sana juga, Wal! Dari lama juga kan aku udah bilang ke kamu kalau harus gercep, jangan kelamaan mikirnya. Eh, kamu harus buang waktu selama satu setengah tahun. Untung si Friska kayaknya emang suka kamu, buktinya dia ga pacaran?"
"Hadeh! Nggak pacaran emang, cuma friendly-nya itu kadang bikin hati kepanasan," keluhku pada lelaki itu.
"Nah itu kan karena dia belum ada yang berani nyatain cinta, coba besok setelah kau nyatain cinta, pasti sikapnya ke orang bakal beda," jawab Herman lagi.
Heran, anak ini kaya udah paham banget soal cewek.
"Iya deh, iya."
"Ya udah, yok jalan! Kita kan bentar lagi ada kelas," ajak Herman. Dan saking begitu mikirin Friska, aku sampai lupa kalau sekarang aku ada kelas. Aku pun bergegas mengambil tas dan ponsel sebelum pergi ke kampus bareng Herman.
Waktu terasa bergulir amat lambat, jantung juga terasa berdetak tak tentu arah dan tujuan Sepertihubunganku beberapa waktu lalu. Namun kini, aku sudah tau ke mana tujuan yang harus aku jalani bersama Friska.
Tiga menit yang berlalu serasa 30 jam. Hingga akhirnya sekarang aku sudah berada di halaman kampus, dan aku tahu jika Friska belum datang karena biasanya hari ini dia hanya ada kelas sore.
Kamis, minggu ketiga di bulan Agustus. Semoga menjadi hari keberuntunganku dan Friska menerima cintaku nanti.
Aku terus berjalan menuju ke kafe tempat aku dan Friska akan bertemu, demi menghabiskan waktu satu jam lagi. Sementara motor aku biarkan terparkir di halaman kampus. Aku rasa menitipkan di tempat ini terasa lebih aman jika aku tinggal.
Aku mulai memasuki kafe di mana aku dan Friska janjian bertemu. Di sini, cukup banyak pengunjung karena memang makanan di sini enak dan memiliki menu yang banyak.
Beberapa saat aku menunggu, akhirnya gadis yang aku tunggu datang juga.
"Hai, Hayr!"