Perjuangan Itu Berat

Daftar Isi

Kini aku sudah berada di ambang pintu menuju keluar dari rumah ini, terapi langkahku tertahan oleh sebuah pelukan yang begitu erat dari Friska. Sesungguhkan dan derai tangis pun menghiasi suasana ini. Sakit. Namun, untuk menukar sebuah keyakinan dengan cinta pada makhluk ciptaan-Nya tentu saja ini tidak bisa aku lakukan meskipun sakit yang aku derita sungguh teramat sangat.


Empat semester yang dilalui bersama sungguh bukan waktu yang sebentar untuk sebuah rasa yang harus ditinggalkan begitu saja. Namun, daripada aku membuat sebuah keluarga hancur, maka aku akan lebih memilih membuat hatiku lebur.

 

Perjuangan Itu Berat

Isak tangis yang keluar dari bibir Friska tentu saja semakin membuat langkahku berat, tetapi mungkin ini yang terbaik untuk kami berdua. Setelah sebuah kalimat yang porak-porandakan hati serta egoku, mana mungkin aku masih tetap berada di sini.


"Jangan pergi, Bang Zuhayr." Ucapan lirih gadis yang tengah memelukku ini terasa sangat menyedihkan.


Namun, aku bisa apa ketika tuan rumah sudah tidak menginginkan aku berada di sini. Aku hanya akan membuatnya tidak senang dengan keberadaanku. 


Aku masih belum menjawab ucapan gadis yang sebenarnya sangat aku cintai, meski dengan berat hati aku harus melepaskannya.


Tubuh ini masih bergeming, belum bergerak karena gadis ini masih memelukku dengan sangat erat, bahkan detakan jantungnya yang tidak menentu bisa terasa di punggungku. 


"Zuhayr ... berjuanglah sedikit lagi. Bujuk Kakek," pintanya dalam isak tangis. 


Sementara aku tahu, pria tua yang disebut kakek oleh Friska itu telah pergi tepat setelah dia menyuruhku pergi.


"Maaf, Friska. Mungkin kita memang nggak ditakdirkan buat jadi pasangan, tapi kamu jangan khawatir, aku masih mau jadi sahabatmu seperti sebelumnya." Aku perlahan mengurai pelukan gadis ini. Berat, tapi harus aku lakukan.


Tanpa ingin menoleh dan menampakkan wajahku yang telah penuh linangan air mata ini, aku terus melangkahkan kaki menuju ke halaman untuk menghidupkan motor dan pergi dari sini meninggalkan gadis yang aku sayangi di sini, di rumah orang tuanya.

*

Aku masih duduk di tepian danau hingga malam mulai menjelang dan langit dipenuhi dengan bintang-bintang. Pancaran sinar rembulan pun tampak menyilaukan karena tercermin di permukaan air danau.


Semilir angin menerpa tubuh yang mulai menggigil, tapi entah mengapa aku masih merasa nyaman di sini. Sendiri dalam sepi dan kegelapan yang hanya disinari bintang dan bulan. Hanya ada suara alam yang terdengar, sedikit menenangkan jiwa yang remuk redam. 


Pikiran terus melayang seperti memutar kembali kisah menyedihkan siang tadi, ucapan kakeknya Friska yang menjawab pertanyaan cucunya dengan tegas dan menyakitkan membuatku tak bisa berkutik lagi. 


Katanya, "Cinta berbeda keyakinan pasti tidak akan berjalan lama. Entah salah satu yang makin lama keberatan dengan keyakinan yang lain, atau bahkan keduanya malah tidak menjalankan kewajiban masing-masing sebagai hamba Tuhan. Jadi jika kamu memang tidak setuju dengan keputusan ini, maka pergilah." 


Perkataan itu seolah membuangku ke dalam lembah yang begitu dalam. Tanpa bisa berkata karena kemungkinan itu bisa jadi benar, atau mungkin pria tua itu memang sudah merasakan apa yang aku dan Friska alami.


Mulai dari jadwal ibadah yang berbeda mungkin bisa membuat kami berdua jarang bersama. Juga beberapa bagian di mana aku tak dibolehkan bersamanya, begitupun dengan dia.


Cinta. Mengapa bisa semenyakitkan ini? Kau datang sendiri, tapi tak mau pergi sendiri. Kau datang dengan suka cita, tetapi memaksaku meninggalkan dengan tergores banyak luka. Jika memang akhirnya akan menderita, mengapa kau datang menyapa?

*

Entah sudah berapa lama aku berada di sini dan hanya ditemani rokok yang hanya tinggal sebatang. Banyak sekali panggilan yang masuk ke ponsel dan selama ini juga aku abaikan entah itu dari siapa saja. Rasanya saat ini aku hanya ingin tenang dan tidak ada yang mengganggu. Tidak ingin mendengar kabar apa pun dari siapa pun, kecuali kabar jika kakeknya Friska merestui hubunganku dengan cucunya.


Kulirik ponsel yang ada di samping bungkus rokok, di sana terlihat ada pemberitahuan jika Friska mengirimi banyak pesan. Rasanya aku belum siap untuk membukanya. 


Aku masih ingin di sini dan menikmati kesendirian untuk sementara waktu sebelum besok aku harus kembali ke hiruk pikuk kehidupan di kampus dan kemungkinan akan bertemu Friska lagi. 


Aku masih belum tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Entah aku harus menerima semua kenyataan atau masih harus terus membujuk pria tua itu adalah prinsip hidupnya berubah. Hal yang aku tahu sekarang, aku hanya ingin sendirian tanpa gangguan.


Kurebahkan badan di rerumputan mataku memandang luas ke arah langit yang bertaburan bintang di atas sana. Kamu laki-laki bintang seolah menggambarkan wajah cantik Friska yang sedang tersenyum ke arahku. 


"Apakah aku sudah segila ini hingga di gugusan bintang pun terlihat wajahmu?" 


"Mungkin." Ada sebuah jawaban yang membuatmu terkejut lalu menoleh.


"Friska?" 


"Aku mengirimimu pesan, tapi tidak kamu jawab, Bang. Kenapa? Kamu sudah berusaha menjauhiku?"

 

Ucapan Friska membuatku semakin tertekan. Apalagi dia berada di sini bersamaku sekarang. Jika orang tuanya atau ada yang melihat pasti mereka akan berpikir dan tidak-tidak tentangku.


Lalu yang lebih buruk dari itu adalah jika ada sebuah statement yang isinya karena ditolak oleh kakek kekasihnya, seorang pemuda ....


Ah! Menyebalkan!

*

Tepat pukul 01.00, aku mengantarkan Friska pulang, itu karena aku takut jika kedua orang tuanya mencari keberadaan Friska saat mereka sadar Friska tidak da di rumahnya.


"Kenapa kamu anterin aku pulang? Aku kan udah bilang bawa aku pergi. Asalkan bersamamu, ke mana pun aku mau." Ucapan itu terasa sangat indah, tetapi aku tidak bisa melakukannya karena itu perbuatan pecundang.


"Lebih baik aku antar kamu pulang dengan selamat dan membuat ayah ibu tidak khawatir." 


"Tapi aku nggak mau kalau sampai kita berpisah." Friska masih saja keras kepala dan terus memaksa untuk pergi bersamaku. Bahkan dia sekarang sedang memelukku erat di boncengan motor.


"Berpisah atau bersatu itu semua kehendak Tuhan, Friska. Jangan memaksa. Jika kita memang harus bersatu bahkan waktu pun tidak mampu memisahkan, tapi jika memang kita harus berpisah, ya sudah terima saja." 


"Apa kamu tidak mau berusaha sekali lagi?" tanyanya dengan masih memeluk dan menyandarkan kepalanya di punggungku.


"Aku masih berdoa agar Allah membalikkan hati kakekmu agar dia merestuiku dengan atau tanpa kamu mengubah keyakinanmu. Itu saja. Kalau aku harus berdebat dengan kakekmu, aku rasa tidak." Aku mulai merenggangkan pelukannya kemudian turun dari motor yang sudah kustandarkan. Lalu aku menghadap ke arah gadis manis yang rambutnya sedikit kusut.


"Tapi, Zuhayr—"


Tanpa sempat dia melengkapi kalimat, telunjukku sudah mendarat di bibirnya. "Pulanglah, Sayang."

Posting Komentar