Pupus
"Sebuah kalimat yang sepertinya biasa saja, tetapi mampu membuatku seolah tersambar petir di siang bolong. Harapan yang tadinya aku gaungkan lagi,"
Kalimat tanya yang beberapa waktu lalu aku ucapkan saja belum terjawab, kini sebuah pertanyaan baru menghampiri otak dan meminta segera dijawab.
Siapa dia? Siapa lelaki yang mencari Friska sampai ke sini?
"Iya, Bang. Lagi cari referensi buat skripsi," jawab Friska pelan.
"Kenapa nggak cari di rumah kaya biasanya?" tanya lelaki itu lagi. Dia juga memposisikan diri untuk duduk di samping kami.
"Di sini kan banyak temen, jadi nggak jenuh." Friska mulai berkata untuk membela dirinya, sedangkan aku masih duduk di depannya sambil terus bertanya-tanya di dalam hati siapakah lelaki ini.
Kakaknya? Kayaknya bukan, deh. Terus siapa?
"Oh gitu .... Terus dia teman kamu juga?" tanya lelaki itu sembari menatap ke arahku.
"Iya, dia temanku. Namanya Zuhayr."
Friska memperkenalkan namaku dan aku sendiri menyodorkan tangan untuk menjabat tangannya.
"Stevanus Septian. Kau bisa panggil aku, Evan," katanya memperkenalkan diri.
"Aku Zuhayr. Hanya Zuhayr." Kami berjabat dan saling melempar senyum.
"Oh, iya. Karena kamu temannya Friska, nanti kalau kami menikah kamu harus datang, ya!"
Sebuah kalimat yang sepertinya biasa saja, tetapi mampu membuatku seolah tersambar petir di siang bolong. Harapan yang tadinya aku gaungkan lagi, kini pupus kembali. Jadi ini alasan mengapa Friska nggak mau kembali denganku.
Dia sudah memiliki calon suami dan akan segera menikah. Namun, kenapa dia tadi bilang jika merindukan aku? Apa ini, Friska? Apakah rindumu palsu?
Semudah itu melupakan? Atau ada sesuatu lain yang sengaja tidak dia katakan? Tapi apa?
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Friska dan segera meminta penjelasan apa yang terjadi saat ini.
"Aku lupa belum bilang ke kamu. Dia calon suamiku yang dipilihkan oleh Kakek. Maaf, ya aku baru bilang sekarang."
Wajahnya terlihat sangat jelas sedang menahan sesuatu, tapi entah apa. Apakah dia merasakan sakit ketika harus meninggalkanku sama seperti yang aku rasakan ini? Atau malah tidak enak padaku karena ketahuan? Entah!
"Oh, oke."
Hanya itu yang mampu aku ucapkan karena di dalam dada ini hatiku terasa hancur lebih dari yang kemarin. Ketika kemarin aku hanya kalah dari kakeknya saja, sekarang aku juga kalah dari takdir.
"Bagaimana kamu mau datang, kan? Masa sih sahabatnya nikah, tapi nggak datang." Lelaki bernama Evan di sebelahku menepuk pundak kiriku perlahan seakan dia memang mengundangku secara khusus.
"Memangnya kalian rencana menikah kapan?" tanyaku mencoba mencairkan suasana yang amat tegang di antara aku dan Friska.
Dia duduk dan meletakkan tangannya di atas meja. Kedua tangannya saling menggenggam. Di sana, di jari manisnya sudah ada cincin pertunangan, mungkin.
Kenapa sekarang aku baru sadar jika di jari manis Friska juga ada sebuah cincin yang melingkar. Bodoh!
"Sesuai kesepakatan orang tuaku dan kakeknya Friska, setelah wisuda sekitar tanggal dua puluh lima. Bagaimana? Kau bisa hadir?" tanyanya lagi.
"Ya, kalau aku nggak ada acara mendadak, aku bakal hadir."
"Bagus, deh." Senyum manis seketika merekah dari bibir Evan, sedangkan Friska tersenyum juga, tetapi terlihat sedikit dipaksakan.
Sebenarnya aku sudah tidak bisa lagi terus berada di sini. Sakit di dalam palung hati teramat sangat kurasakan. Namun, rasanya kurang sopan jika aku meninggalkan pembicaraan di sini. Tuhan, tolong aku!
Benar, Tuhan memang Maha Baik. Tiba-tiba pundakku ada yang menepuk dan dia ternyata adalah Herman.
"Hey! Ayo! Udah ketemu kan buku yang dicari?" katanya.
Fiuuh! Aku terselamatkan.
"Udah kok!" Aku bangkit dari kursi.
"Mau ke mana, Hayr?" tanya Evan mencegah.
"Aku mau pulang, buat selesaikan skripsi. Tadi nyari buku, udah ketemu. Bye!" Aku melangkahkan kaki sembari diiringi senyum terpaksa.
"Oke, see you, Bro!"
Aku keluar dengan langkah gontai dan hampir roboh. Untung saja ada lelaki tinggi ini di sampingku. Jika tidak mungkin aku sudan tersungkur. Sekarang saja, aku berjalan sambil dipapah olehnya.
"Hey! Kamu kenapa, Bro? Kok lemes banget? Duduk sini dulu coba." Herman mendudukkanku di sebuah bangku panjang yang ada di taman kampus ini.
"Kamu belum makan ya?" tanyanya kemudian setelah kami duduk berdampingan.
"Udah kok, kan tadi kita sarapan bareng." Aku duduk menunduk sambil memegangi kepala yang seolah hampir pecah.
"Oh, iya. Tapi kenapa kamu lemes gini?"
Herman memijat tengkuk dan aku memijat pelipis. "Nggak tau. Aku pusing."
"Ya udah, ayo pulang! Ke rumahku ya!" Herman memapahku lagi kali ini dia yang mengendarai motorku.
"Ke kosan aja lah," pintaku pelan.
Dia pun hanya mengangguk sebagai jawaban dari permintaanku tadi.
Sampai di tempat kos, aku langsung berbaring di kasur. Rasanya aku tidak bisa menerima kalau Friska akan segera menikah dan itu bukan denganku.
Aku yang telah menemaninya sejak lama, digantikan begitu saja oleh lelaki bernama Evan yang entah berasa dari mana.
Apa dia bisa secinta itu pada Friska? Bagaimana jika dia tidak bisa memperlakukan Friska dengan baik?
Kepala ini terpenuhi pikiran mengenai Friska dan calon suaminya.
"Bro, aku masakin mie kuah pedes ya. Siapa tau kamu jadi baikan," kata Herman tiba-tiba.
"Mie kuah? Kayaknya aku nggak ada stok mie," jawabku heran.
"Ya Allah, Zuhayr. Tadi aku udah pamit loh mau beli mie sama kamu. Kok kamu malah lupa?" Herman terlihat kebingungan.
"Iya aku lupa. Kalau kamu mau masakin ya udah lah. Boleh." Aku bangkit dari tempat tidur dan duduk di lantai.
*
Waktu berlalu cepat dan sekarang kami di aula dan menunggu nama disebut untuk maju ke depan. Itu berarti Friska sebentar lagi menikah dan rasanya aku tidak menerima kenyataan ini.
Dan sayang sekali hal yang aku takuti terjadi lagi. Padahal aku sudah menghindar sebisa mungkin, tetapi malah bertemu dengannya lagi.
"Hai, Zuhayr!" sapa Evan.
Ya, tentu saja dia ada di sini bersama Friska. Kan mereka mau menikah sebentar lagi.
"Hai!" Aku membalas sapaannya.
Kami saling bersalaman satu sama lain.
"Congratulation, ya, Zu!" kata Friska.
"Kamu juga, congrats buat kamu," balasku.
Sementara Evan mengulurkan sebuah kertas berwarna putih dan ada foto Evan dan Friska. Ya, itu adalah undangan pernikahan. "Datang, ya!" kata Evan.
Aku langsung membukanya dan membacanya. "Eum. Maaf ya, tanggal ini aku sudah harus ada di rumah. Di sini kan aku ngekos. Nggak bisa datang."
"Yah, sayang sekali."
"Ya sudah. Nggak apa-apa. Kamu baik-baik ya, Zu," kata Friska diiringi dengan senyum yang begitu manis.
"Kamu juga. Semoga kamu bahagia ya. See you." Aku berbalik dan pergi meninggalkan gadis itu bersama calon suaminya.
Sebenarnya bukan karena aku ingin cepat pulang, tetapi bagaimana bisa aku menghadiri pesta pernikahan orang yang aku sayangi sebagai tamu undangan.
Itu tidak mungkin.