Belajar Saling Menghargai

"Kami masih berpegang pada keyakinan kami masing-masing, tetapi yang membuat aku bahagia adalah ketika saat ini dia berkata, "Zu, aku mau belajar menga"

4 min read

Tanpa terasa hubunganku dan Friska sudah mencapai beberapa minggu dan kami berdua pun semakin dekat dan makin mencintai satu sama lain. Ketika dia ke gereja, aku menemaninya dan ketika aku berpamitan untuk salat Jumat, kadang dia menungguku dengan sabar di kafe depan masjid.


Kami masih berpegang pada keyakinan kami masing-masing, tetapi yang membuat aku bahagia adalah ketika saat ini dia berkata, "Zu, aku mau belajar mengaji, apa boleh? Soalnya kan aku belum masuk Islam." 

Belajar Saling Menghargai


Dengan senang hati, aku pun langsung menjawab, "Tentu saja boleh dong, Sayang. Meskipun kamu belum masuk Islam, tetapi aku akan mengajarimu mengaji."


"Terus apa yang harus aku lakukan sebelum aku belajar mengaji?" Dia bertanya dengan sangat antusias. Aku juga membalasnya dengan semangat karena aku rasa kami semakin dekat untuk menemukan titik terang dari hubungan ini.


"Emangnya kamu mau belajar ngajinya kapan?" Aku mencoba memastikan kesiapan hatinya untuk belajar mengaji bersamaku.


"Terserah, mau sekarang juga boleh." Dia menjawab dengan mata berpindah seolah memang sudah sangat tidak sabar ingin belajar mengaji.


"Oke kalau gitu, kita selesaikan dulu makannya setelah itu nanti kita lanjut mengaji," cowokku yang kemudian dilanjutkan dengan menyuapkan makanan yang ada di depan kami.


"Oke, Bos!" Lagi-lagi gadis di depanku tersenyum dengan semringah, hal itu juga membuatku tersenyum karena melihat wajahnya yang makin cantik karena senyumannya.


Sekitar 20 menit makanan dan minuman yang ada di depan kami berdua pun habis dan kami menumpuknya ke pinggir meja agar ada ruang untuk Friska belajar mengaji. 


"Gimana udah siap?" tanyaku pada kekasihku satu-satunya ini.


"Sudah, tapi apa kamu bawa kitabnya?" Dia balik bertanya padaku.


"Lah, kalau baru belajar sih nggak perlu kitab, aku bisa nulis di buku." Aku langsung mengeluarkan buku beserta bolpoin untuk menuliskan beberapa huruf Hijaiyah agar Friska bisa belajar membacanya sedikit demi sedikit.


"Kamu bisa?" tanyanya seolah tidak percaya.


"Eum ... kamu meremehkan kekasihmu yang tampan ini, Nona?" Aku mulai menuliskan beberapa huruf di buku.


"Bukan begitu. Aku kan cuma tanya. Soalnya aku lihat di kitabmu itu kan kaya susah banget."


Ya, Friska memang sering kali melihat aku mengaji Al-Qur'an, jadi pantas saja jika dia mengira itulah yang akan dia pelajari.


"Itu yang udah tingkat lanjut, Sayang. Kalau yang baru belajar, ya mulai dari yang paling mudah," jawabku mencoba memberikan pengertian.


"Oh, gitu yah."


Sementara aku telah selesai menuliskan beberapa huruf Hijaiyah untuk bisa dibaca oleh Friska. "Ini lihat. Kita mulai dari huruf Hijaiyah, alif, ba, ta, tsa," kataku sambil menunjuk beberapa huruf yang aku tuliskan.


Di bawahnya juga aku tulis banyak huruf acak yang isinya keempat huruf di atas. 


"Alif, jika dikasih garis miring di atasnya yang disebut fathah, maka dibaca a."


"Alif, ba, ta, sa," ucap Friska mulai membaca huruf yang ada di buku.


"Bukan sa, tapi tsa." Aku pun membenarkan ucapan gadis cantik di depanku ini.


"Emangnya beda yah? Sha sama tsa?" Friska terlihat penasaran.


"Kok malah sha? Ada sa, ada tsa, ada sya," jawabku mencoba memberi pengertian.


"Susah ya, hehe." 


"Bukan susah, belum terbiasa aja. Yok, lanjut lagi. Hafalin dulu yang selain tsa." Aku terus mencoba membuat dia tidak merasa keberatan dengan apa yang kuajarkan.


Dengan perlahan Friska mulai membaca huruf Hijaiyah yang aku tulis tadi, meskipun pelan tetapi ternyata dia cepat paham, kecuali yang huruf tsa tadi.


"Sa, ba, ta," ucapnya sambil menunjuk ke huruf-huruf di depannya.


"Tsa," kataku mengingatkan.


"Sha," ucapnya lagi.


"Bukan begitu, Sayang."


"Terus gimana cara bacanya?" Mimik wajahnya terlihat sedikit putus asa karena sejak tadi tidak bisa melafalkan huruf tsa dengan benar.


"Jadi gini, makhroj huruf tsa' terletak pada ujung lidah dengan ujung gigi seri bagian atas, jadi cara pengucapannya adalah ujung lidah sedikit dikeluarkan, lidah bertemu ujung gigi. Tsa." Aku mencoba menerangkan lagi.


"Tsa ... tsa ... tsa." Friska terus mencoba dan Alhamdulillah kali ini benar.


"Nah gitu, bener," kataku memujinya.


"Ah, kalau udah tau tekniknya ternyata gampang ya."


"Iya, Alhamdulillah. Semuanya dipermudah karena Allah bersama kita," jawabku sambil tersenyum.


"Alhamdulillah," katanya.


"Oh, iya. Apa kamu udah ngomong sama orang tua kamu tentang ini?" tanyaku memecah rasa penasaran yang sejak tadi aku tahan.


"Tentang apa?" Dia balik bertanya kepadaku.


"Tentang kamu yang belajar ngaji seperti ini." 


"Enggak," jawabnya singkat.


"Nanti kalau mereka marah gimana?" 


"Ya kan nanti. Sekarang kan belum marah, jadi aman," katanya santai.


Gadis ini. Makin menarik perhatianku dengan pemikirannya yang kadang di luar ekspektasi yang bisa aku gapai, tapi itu malah membuat dia makin aku cintai. Sepertinya jika bersamanya nanti hidupku tidak akan pernah bosan karena cara berperilaku dan caranya bicara yang unik.


"Apa kamu keberatan?" Dia bertanya kali ini.


"Em, keberatan untuk apa? Aku malah senang bisa ngajarin kamu ngaji. Besok kita ketemu lagi ya. Aku bawakan iqro buat kamu," ucapku makin semangat.


Ya tentu saja karena dia begitu antusias mendalami islam, mungkin karena ingin memperbaiki diri, atau karena memang ingin bisa bersamaku. Ah, entahlah. Semoga nanti dia tidak salah niat.


"Iqro? Apa itu?" Mimik wajahnya terlihat seperti kebingungan, atau mungkin penasaran.


"Iqro itu sebuah buku belajar mengaji untuk pemula isinya sama seperti yang aku tulis di sini. Tapi dalam iqro itu lebih lengkap dan lebih mudah dipelajari nggak seperti yang aku tulis," jelasku panjang lebar pada gadis yang ada di depanku, sedangkan dia hanya mengangguk-angguk seperti sedang mencoba mencerna apa yang aku katakan.


"Jadi kapan rencana kamu ingin memberitahukan semua ini pada keluargamu?" tanyaku padanya lagi.

 

Namun, aku hanya mendapatkan sebuah gelengan kepala sebagai jawaban. 


"Apa kamu nggak ingin memberitahukan kepada mereka?" 


"Bukan gitu, cuma aku lagi cari waktu yang pas," jawabnya perlahan.


Dan aku hanya bisa mencoba mengerti dan menghargai apa saja keputusan gadis yang ada di depanku ini. 


Hari-hari berjalan dengan indah karena dihiasi dengan senyumnya setiap hari ketika kami bertemu dan juga belajar mengaji. Sesekali aku mencubit hidungnya ketika dia salah melafalkan huruf-huruf Hijaiyah yang ada di dalam buku iqro dan dia hanya tersenyum manis menanggapi.


Sesekali dia juga katanya cubitanku di hidungnya terkadang membuat dia kesal dan tidak bisa bernapas. Namun, tingkahnya itu malah membuatku semakin gemas dan tidak mencubit hidung lagi melainkan mencubit pipinya yang menggemaskan itu.


Hingga tanpa terasa hari-hari berlalu begitu cepat sampai akhirnya kami berdua sudah menginjak semester lima di perkuliahan kami.


Kami pun bertemu lagi untuk kesekian ratus kali. "Zuhayr, kayaknya aku bakal ngomong sama orang tuaku."

Posting Komentar