Kacau
Matanya membulat seolah menatapku tidak percaya karena ketika dia ingin mengikuti ke mana pun aku pergi, aku malah memilih untuk menyuruhnya pulang. Ya pulang.
Meskipun sedalam apa cintaku pada Friska dan juga sebaliknya, tapi tentu saja cinta orang tua lebih besar kepada anaknya. Aku sadar aku ini baru mengenal Friska selama kurang lebih 2 tahun, sedangkan orang tuanya yang sejak dari dalam kandungan telah membersamai Friska hingga saat ini. Tentu tidak sopan jika aku membawanya pergi dan membuat kedua malaikat tanpa sayap itu bersedih.
"Pulanglah sekarang. Besok kita masih bisa bertemu lagi di kampus. Tenang saja, aku masih Zuhayr yang kamu cintai."
"Zu ...." Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Padahal tadi matanya juga masih sembap.
Akhirnya aku rentangkan tangan dan membawanya ke dalam pelukan terhangatku. Mungkin pelukan ini bisa menenangkannya untuk sementara.
"Aku masih sangat mencintaimu." Itulah satu-satunya yang bisa aku katakan pada gadis yang sedang berada dalam pelukanku ini.
Beberapa kali kuusap rambutnya yang sedikit berantakan karena mungkin sejak siang dia terus saja menangis. Kuncup kepalanya yang mungkin ini adalah terakhir kalinya bisa kami lakukan.
"Zu ... berjanjilah kamu tetap masih mau berteman denganku sampai kapan pun ya," lirihnya dengan pelan dan penuh kesakitan.
"Ya, aku berjanji."
Setelah ucapanku, pelukan ini malah bertambah erat. Entah sampai kapan gadis cantik ini akan berhenti memelukku. Terlihat juga dia sesekali menghirup aroma tubuhku dengan dalam seolah ingin memenuhi paru-parunya dengan aroma tubuhku.
"Aku akan rindu aroma tubuhmu, Zu."
"Besok kan kita bertemu lagi, Friska. Masih ada setidaknya tiga semester untuk kita masih bersama. Itu pun jika kamu masih terus mau menemuiku." Aku mulai merenggangkan pelukannya lagi.
Ini sudah hampir pagi. Friska harus segera masuk.
"Masuklah. Kita bertemu lagi besok."
Dia tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan kemudian melangkah menjauhi tempat di mana aku berada dan melihat punggung gadis yang mungkin akan terus kurindukan.
Ketika hendak masuk ke rumah, dia sempat menoleh dan tersenyum ke arahku. Manis.
*
Pagi mulai menjelang. Rasanya aku malas sekali untuk beranjak dari kasur dan bersiap untuk pergi ke kampus karena sejak kemarin gadis yang aku cintai mungkin tidak akan bersatu denganku.
Untungnya otak di kepala masih bisa untuk berpikir jernih jika aku tidak lulus kuliah entah apa yang keluargaku rasakan. Aku sudah jauh-jauh ke sini dan hanya untuk putus cinta tanpa menyelesaikan kuliah. Itu parah sekali, bukan?
Akhirnya dengan sangat terpaksa aku pun bersiap-siap tanpa perlu mandi yang penting sudah cuci muka dan gosok gigi. Sebenarnya, hari ini aku berharap tidak bertemu dengan Friska bukan karena aku sudah tidak cinta lagi, tetapi aku memilih untuk belajar tanpa adanya dia dalam kehidupanku mulai saat ini. Sebab kemungkinan besar yang akan terjadi aku memang harus merelakan dia untuk bersama yang lain.
Terkecuali apabila Allah memang merestuiku dan membuat kakeknya Friska berubah pikiran. Namun, sebelum itu terjadi lebih baik aku mencoba merelakannya pergi daripada rasa cinta ini menjadi semakin dalam dan berakhirnya aku akan sulit sekali melupakan.
Bodohnya aku memang, sudah tahu berbeda keyakinan masih nekat untuk melabuhkan cinta hingga dalamnya teramat sangat. Sampai pada akhirnya aku sulit untuk berenang ke permukaan karena sudah menyelam dalam cinta yang terlalu dalam.
Mungkin apabila kakeknya Friska tidak menyetujui hubunganku dengan cucunya karena hal lain dan bukan karena perbedaan keyakinan yang aku dan freshka mungkin aku masih bisa menggunakan 1001 macam cara agar bisa meluluhkan hatinya. Namun ini berbeda, kenyataan yang aku alami sekarang membuatku sadar jika ini mungkin bukan ketidaksetujuan dari kakeknya Friska saja, melainkan juga adalah cara Allah memberitahuku jika selama ini aku mencintai orang yang salah.
Pikiran-pikiran itu terus saja mengganggu di dalam otak dan masih menghantui ketika aku sudah berada di parkiran kampus. Atau saking gilanya, aku bisa mendengar suara gadis itu di telinga juga bisa menghirup aroma tubuhnya yang sangat memabukkan.
"Zu ...." Suara itu kupikir tadinya hanya angan belaka, tetapi kenyataannya itu memang suara dari gadis yang sejak tadi aku pikirkan. Aku tahu karena sekarang dia sedang memelukku dengan sangat erat.
Sebuah hal yang jarang sekali dilakukan, tapi sekarang kenapa dia malah terus saja memelukku, bahkan di tempat umum seperti ini.
"Friska, tolong jangan membuat ini semakin sulit."
"Sulit? Maksudmu apa? Apa kamu sudah benar-benar ingin menjauh dariku, Zu?" tanyanya masih dengan memeluk.
"Semakin manis perlakuanmu padaku, tentu saja akan membuatku semakin sulit melupakanmu suatu saat nanti. Tapi jika kamu bisa memastikan kita berdua bisa terus bersama silakan lakukan apa pun yang kamu mau."
"Zuhayr, tolong jangan bicara seperti itu. Aku masih ingin kita terus bersama dan berjuang untuk mendapatkan restu dari Kakek."
"Baiklah, jika memang itu kemauan kamu. Mungkin ini adalah terakhir kali aku berjuang. Setelahnya aku lebih memilih untuk berpasrah pada Tuhan."
"Terima kasih, Zu."
"Sekarang, lepas pelukanmu. Aku ada kelas, Friska." Akhirnya aku mengakhiri percakapan ini. Meskipun sulit, aku harus melakukannya.
"Setelah kelas aku menunggumu di kantin, ya, Zu."
"Ya, nanti aku ke sana."
*
Aku berjalan menuju ke tempat di mana Friska menunggu. Kantin. Mungkin di sini paling banyak kenangan antara kami berdua dan akan sulit dilupakan jika kami berpisah nanti.
Di salah satu sudutnya terlihat gadis cantik itu sedang melihat ke arahku seraya melambaikan tangan. Aku sedikit mengulas senyum padanya lalu menghampiri.
"Duduk, Zu. Aku udah pesan ayam geprek favorit kamu," katanya.
Aku duduk di depannya, kami berdua terhalang meja yang berukuran satu meter. Aku memandang wajahnya yang penuh harap itu. Namun, aku sendiri sedikit tidak yakin jika misal nanti aku ke rumahnya lagi, kakeknya akan menerimaku dengan baik.
Ya, sama seperti aku. Prinsip tentu tidak mudah diubah, bahkan mungkin tidak bisa.
"Thanks, ya Friska. Oh ya, nanti kamu selesai kelas jam berapa?"
"Jam empat. Kenapa?"
"Nanti aku antar kamu pulang, sekalian ketemu Kakek," ucapku.
"Apa nggak kecepetan? Kan kakek baru ngusir kamu kemarin," balasnya yang menampakkan wajah khawatir.
"Enggak."
"Sebaiknya jangan sekarang-sekarang deh."
"Minggu depan?" tanyaku memastikan.
"Boleh."
Kami pun makan bersama. Obrolan kami sudah tidak sehangat kemarin sebelum aku ke rumahnya. Ada sesak yang masih mendera di dalam sini ketika melihat senyumnya. Senyum yang mungkin tak lagi bisa menenangkanku dari lelahnya tugas kuliah. Juga aroma rambutnya yang kerap kali kurindukan jika tak bersamanya sehari saja.
Entah, bagaimana aku menghadapi hidup jika kami benar-benar berpisah.
Mungkin aku akan kehilangan separuh dari napasku atau seolah kehilangan sebagian dari jiwaku.